Cover buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar. Foto: Medcom.id/Wandi
Cover buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar. Foto: Medcom.id/Wandi (Wandi Yusuf)

Pak Jokowi, Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Wandi Yusuf • 07 Maret 2024 12:33
PAK Jokowi, jangan baca judul ini dengan sekali napas. Ini judul dibuat sengaja beraroma clickbait. Tentu saja biar menjadi perhatian dan syukur-syukur dibaca sampai tuntas.
 
Jika dibaca secara serampangan, tentu saja judul ini masuk pada konten penghinaan terhadap kepala negara. Walah, saya bakal dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan tentu tak lama lagi masuk bui.
 
Sebetulnya, tulisan ini punya niat sederhana. Tulisan ini hanya ingin mengajak Bapak untuk rehat sejenak dari hiruk-pikuk Pemilu 2024. Sekadar mengajak Bapak untuk berekreasi sambil berliterasi.
 
Kan capek juga sejak Pemilu Bapak kerap dianggap cawe-cawe. Bapak dibicarakan kanan-kiri atas-bawah. Dibilang sangat politis dalam hal penggelontoran bantuan sosial atau bansos. Kan Bapak sendiri yang bilang, "kalau ada yang bisa membuktikannya silakan." Nyatanya, tuduhan itu tak terbukti, toh. Setidaknya hingga beberapa pekan setelah pencoblosan Pemilu 2024 ini.
 
Dan mungkin Bapak juga sekarang agak senang, meski tertahan, karena anak Bapak Gibran Rakabuming Raka sedang di atas angin. Bersama calon presiden Prabowo Subianto, yang kerap mendampingi Bapak kunjungan kerja di kala masa kampanye, Gibran menang sebagai peserta Pilpres 2024 versi hitung cepat. Pada hitungan nyata (real count) Sirekap Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun, pasangan nomor urut dua ini juga digdaya melampaui pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
 
Oke, langsung saja, Pak. Melalui judul ini saya ingin mengajak Bapak untuk berekreasi dalam berliterasi. Saya ingin mengajak Bapak sebagai Presiden RI untuk membaca novel terbarunya Tere Liye (Darwis) berjudul Teruslah Bodoh Jangan Pintar.
 
"(Pak) Jokowi, (Yuk, Baca Bareng Novel) Teruslah Bodoh Jangan Pintar". Sebenarnya tulisan ini ingin memakai judul tersebut.
 
Tapi karena editor di kantor sangat jeli dan sedikit nakal, maka dipotonglah di sana-sini. Jadilah tersisa, "Jokowi, Teruslah Bodoh Jangan Pintar". Alasan editor, judul ini lebih ringkas dan lugas. Dan tentu saja ada unsur clickbait-nya.
 
Akhirnya saya nurut, ya sudah. "Tapi nanti kamu yang tanggung jawab ya kalau ada apa-apa," begitu saya coba melempar tanggung jawab ke editor. Dia cuma melengos pergi. Dan saya mengartikan itu sebagai pernyataan setuju.

Versi fiksi Dirty Vote

Novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar terbit di awal 2024. Di saat musim Pemilu 2024. Novel ini tak banyak dibicarakan di media sosial. Hanya bergaung di sebagian kecil komunitas pembaca.
 
Hingga akhirnya seorang sineas Ernest Prakasa membahasnya di akun X (Twitter). Ernest yang keturunan Tionghoa membaca novel dari seorang Tere Liye yang pemikirannya disebut-sebut agak 'kanan' saja sudah bikin bertanya-tanya. Apa yang membuat Ernest begitu antusias membaca novel Tere. Begini komentarnya:
 
Saya menyesal membaca buku ini. Terlalu dekat, terlalu sesak. Pertama kali seumur hidup saya membaca novel tanpa jeda dari halaman pertama sampai terakhir. Kemudian saya tutup sampul belakang dengan mata berkabut. Termangu.
 
Novel ini sungguh berani. Terlalu berani. Salut.

 
Untuk seorang komika, komentar Ernest begitu serius dan wagu. Hal inilah yang menggugah saya untuk membaca novel itu. Dan lantas tercetuslah tulisan ini.
 
Novel berkisah tentang praktik kotor bisnis tambang. Novel ini banyak berlatar di ruang sidang komite khusus untuk menguji hak konsesi proyek tambang raksasa. Dari ruang sidang inilah cerita lancung tentang bisnis tambang terkuak.
 
Sidang mempertemukan dua kutub yang bertolak belakang. Satu kutub memihak warga penolak tambang karena berpotensi merusak lingkungan, kutub kedua pembela korporasi yang ingin mendapatkan hak konsesi.
 
Adu logika antara pengacara pembela korporasi tambang melawan pengacara pembela warga menjadi kekuatan novel ini. Tere Liye punya kemampuan untuk mencatat dan menghadirkan dialektika yang rigid dan masuk akal, baik itu dari pihak korporasi maupun warga.
 
Tere juga lihai memasukkan elemen-elemen pengkhianatan dari para saksi pihak korporasi. Memasukkan banyak elemen kekerasan untuk lebih mendramatisasi alur.
 
Novel ini bisa didapuk sebagai versi fiksi film dokumenter Dirty Vote garapan Dandy Laksono. Jika Dirty Vote membahas fakta-fakta di balik adanya indikasi kecurangan Pemilu 2024 yang sistemik, maka novel ini menghadirkan satu sudut pandang mengenai bisnis tambang yang menjadi bahan bakar utama dari pemilu ke pemilu.
 
Tak pelak, novel ini sangat politis. Dan penerbitan menjelang pencoblosan Pemilu 2024 pun saya kira disengaja. Dan itu sah-sah saja.
 
Jika Dirty Vote diibaratkan sebagai pelari cepat, maka novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar adalah pelari maraton. Dirty Vote secara cepat dan tepat menyasar para pemilih pada Pemilu 2024 agar cermat memilih pemimpin.
 
Sedangkan novel karya Tere Liye ini punya napas panjang untuk membawa pembaca merenungkan betapa pilihan politik bisa berakibat panjang. Pilihan bukan sekadar mencoblos pasangan tertentu di bilik suara. Hasil coblosan itu bisa saja menjadi lubang tambang yang membahayakan kehidupan mereka bertahun-tahun mendatang.

Teruslah bodoh jangan pintar

"Lantas, apa yang membuat kamu menyarankan Pak Jokowi untuk membaca novel ini?" Editor mencecar saya dengan pertanyaan itu. "Jangan-jangan cuma gagah-gagahan. Genit-genitan."
 
Wow, menyala sekali komentar Abang editor ini! Tentu tidak. Ini ajakan secara sadar. Ajakan agar Pak Jokowi sebagai Presiden mampu memilah kebijakan berdasarkan nurani.
 
Mari kita kutip adu argumen adik-kakak tokoh pada novel ini. Mereka adalah Budi dan Rudi. Sang Adik, Budi, menolak menjual lahan sawahnya untuk proyek strategis nasional berupa pelabuhan dan pembangkit listrik. Budi merasa sawah itulah satu-satunya sumber penghasilan dia.
 
Sementara Rudi, si anak sulung, ngotot membujuk Budi untuk menjual tanahnya dengan iming-iming dana segar. Dia sudah termakan iming-iming dari pihak perusahaan.
 
Begini percakapan mereka:
 
"Aku tidak mau menjual rumah Bapak dan lahan sawahku, Mas Rud. Titik."
 
"Iya, teruslah bodoh, jangan pintar. Sering-seringlah berkumpul dengan orang tua kampung yang juga sama keras kepalanya seperti kamu. Sampai mati tinggal di kampung ini...."

 
Dari dialog itu tegas tersurat jika menjadi bodoh itu ternyata lebih beradab daripada pintar tapi culas. Menjadi bodoh lebih terhormat karena bertujuan untuk mempertahankan hak dasar.
 
Dalam bingkai cerita Tere ini, saya mengajak Pak Jokowi lebih mengedepankan logika kaum papa, bukan logika pengusaha. Logika pengusaha hanya indah buat kantong penguasa, sebagaimana dengan jelas digambarkan dalam novel ini.
 
Dan bukan kebetulan jika salah satu menteri dari Kabinet Bapak saat ini diduga kedapatan mempermainkan izin tambang. Bukan ingin menyambung-nyambungkan, tapi faktanya memang demikian. Karena begitu seksinya bisnis tambang untuk menjadi bancakan pengusaha-penguasa.
 
Dan, logika seperti ini juga selayaknya dipahami Pak Prabowo Subianto yang bisa saja dalam waktu dekat ini dilantik menjadi Presiden. Sekalian, saya juga menyarankan Pak Prabowo untuk membaca buku Tere Liye ini.
 
"(Pak) Prabowo, (Yuk, Baca Bareng Novel) Teruslah Bodoh Jangan Pintar". Agar lima tahun ke depan Bapak bisa berempati untuk tidak mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia hanya demi kepentingan orang dekat, sejawat, atau kroni-kroni dinasti.[]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Jokowi Pemilu 2024 novel

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif