Lalu, Gatot pun mengajak agar masyarakat melakukan gerakan memakmurkan masjid dan salat berjemaah di masjid kendati covid-19 masih belum dapat dikendalikan di Indonesia.
Delapan jam setelah diunggah pada 18 Maret 2020, unggahan tersebut mendapat sekitar 32 ribu likes dan dikomentari sekitar 1.600 orang. Pesan yang sama saya temukan di berbagai grup WA yang saya ikuti maupun di laman Facebook (FB).
Di hari lain, juga di grup WA dan FB, saya melihat unggahan video yang viral di media sosial. Video tersebut memperlihatkan kerumunan orang yang diklaim berada di pinggiran jalan sebuah kota di Italia. Selain itu, narasi bahwa peristiwa itu adalah kerumunan warga di salah satu distrik di Italia yang menggemakan takbir di tengah pandemi covid-19. Ada juga narasi pada video itu bertuliskan “Subhanallah Italia Bergema Takbir…Allahu Akbar…” Sejak diunggah Sabtu, 28 Maret 2020, ungggahan video tersebut sudah ditonton 9,3 ribu kali, dibagikan 705 kali, 234 respons, dan 22 komentar.
Selain itu, ada pula unggahan yang menyatakan, "BERITA TERKINI... Akhirnya FBI tlh menangkap seorang professor dari universiti Boston, Amerika Syarikat yg terlibat dgn universiti China di Wuhan yg membuat penyelidikan mengenai virus corona. Prof ini dibayar dgn lumayan sekali. Sekarang semakin jelas bahawa virus corona ini adalah serangan Bio yg dirancang dan dikendalikan oleh China."
Mereka bersyukur
Sejumlah netizen umumnya menanggapi informasi seperti itu dengan ucapan syukur. Mereka bersyukur karena korona berhasil membuat warga China dan Italia berpaling kepada Islam. Mereka juga bersyukur bahwa FBI akhirnya menangkap penyebar korona.
Seperti terbukti kemudian, ketiga cerita itu memang hanya bualan, karangan atau hoax. Tapi banyak netizen yang menganggapnya sebagai kebenaran.
Jika Anda mengikuti percakapan di grup WA atau FB, kelak akan menemukan banyak hoax serupa dan dipercaya banyak orang, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi.
Lalu, mengapa banyak orang percaya pada hoax tersebut? Di tengah kepengapan akibat teror (informasi) korona di mana-mana, masyarakat sepertinya ingin menemukan kabar baik, harapan, semangat sekaligus optimisme.
Sebab, teror tidak berhenti hanya di media mainstream tapi juga di media sosial yang berlanjut ke obrolan di rumah, kantor, dan warung kopi. Isinya macam-macam, seperti jumlah pasien positif, pasien sembuh maupun yang meninggal, minimnya tenaga medis atau tenaga medis yang justru menjadi korban.Banyak yang percaya, terhentinya ibadah haji sebagai tanda kiamat sudah dekat
Belum lagi soal tenaga medis yang kekurangan alat pelindung diri (APD), minimnya alat tes cepat maupun kelangkaan masker. Ada juga teror tentang banyaknya jenazah korban korona yang dibiarkan di jalan di Ekuador serta jumlah kematian yang meroket seperti di Italia maupun Amerika.
Kiamat sudah dekat
Khusus bagi umat Muslim, ada lagi teror yang tak kalah menyeramkan berupa penutupan dua masjid paling suci di dunia (Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah). Teror makin lengkap karena pemerintah Arab Saudi terpaksa menunda ibadah umrah dan kemungkinan ibadah haji akibat korona. Masalahnya, banyak yang percaya, terhentinya ibadah haji sebagai tanda kiamat sudah dekat.
Sebagaimana dikutip Huffington Post, psikolog asal Inggris Dr Graham Davey menyatakan berita buruk (bad news) dapat membuat publik merasa khawatir. Ia menjelaskan ketika seseorang menyimak gambar, video, berita buruk atau informasi negatif, otak merasa terancam, ngeri, atau tragis. Efeknya bisa muncul kekhawatiran yang sulit diatasi dan membuat suasana hati jadi suram dan cemas.
Bagi media, bad news memang sulit dihindari. Sebab, berita buruk terkait korona misalnya, sering diperlukan sebagai warning, agar kita lebih hati-hati melangkah. Dalam kasus lain, berita buruk seperti korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan bisa jadi alat kontrol sosial. Hal ini termaktub dalam UU No 40 tahun 1999 tentang pers.
Namun, harus diakui, hingga kini sebagian besar alam bawah sadar pengelola media masih terbawa adagium klasik yang diperkenalkan dua tokoh pers, yaitu editor New York Sun, John B Bogart (1848–1921) dan tokoh pers di Inggris, Alfred Harmsworth (1865–1922). Menurut mereka, “When a dog bites a man, that is not news, because it happens so often. But if a man bites a dog, that is news.”Bagi media, bad news memang sulit dihindari. Sebab, berita buruk terkait korona misalnya, sering diperlukan sebagai warning
Tertarik bad news
Media tidak berdiri sendiri. Mereka mungkin berpegang pada banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat lebih mudah tertarik pada bad news. George Buce, mantan Direktur News radio yang kini menjadi Direktur News surat kabar menyatakan, berita buruk itu menonjol, menarik karena tidak biasa. Pembaca kurang tertarik cerita tentang 40 ribu penumpang kareta yang selalu tepat waktu. “Sebaliknya, peristiwa mobil terbalik di jalan raya yang mengganggu lalu lintas adalah peristiwa yang menarik untuk diberitakan. Sebab, orang-orang yang terjebak kemacetan atau mereka yang rutin melintasi jalan tersebut ingin tahu mengapa itu terjadi. Mereka juga ingin tahu apakah pengemudi mobil itu baik-baik saja.”
Karena itu, apa yang dilakukan sejumlah media seperti Medcom.id sangat tepat, dengan menghadirkan info grafis tentang 4-6 “berita baik”. Isinya beragam, seperti pembagian kartu prakerja, relaksasi kredit dari BRI untuk pengusaha UKM, klub mobil bantu tangani korona, Unair temukan calon kuat obat korona, hingga penegasan Presiden Jokowi untuk tidak membebaskan narapidana korupsi.
Hal yang sama dilakukan Metro TV dengan menghadirkan Good News Today setiap hari di segmen awal program Newsline. Isinya tentang pasien yang sembuh, donor darah, pembagian masker dan sembako, serta lelang jersey untuk mencari dana bagi penanganan korona.Bad news bisa juga dikemas agar tidak menjadi berita menyeramkan
Kantor berita Antara pun melakukannya dengan menghadirkan rubrik Fokus Kabar Baik. Namun, kabar baik ini hanya sekali-sekali muncul di Antara.
Mengoptimalkan good news
Apa yang dilakukan ketiga media sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “mengoptimalkan” berita baik. Sebab, berita tersebut merupakan pilihan dari berita sepekan. Artinya, tiap hari pun ketiga media selalu menghadirkan berita baik.
Menghadapi situasi paradoksal tersebut, media tetap perlu menyampaikan bad news namun di saat yang sama harus mengimbanginya dengan good news. Selain itu, bad news pun bisa dihadirkan dengan porsi yang lebih kecil ketimbang good news. Bad news bisa juga dikemas agar tidak menjadi berita menyeramkan.
Masalahnya, sebagian pekerja media kurang kreatif. Berita tentang jumlah kematian akibat korona misalnya, seharusnya bisa dikemas dengan sering menonjolkan bahwa kematian tidak akan terjadi jika kita disiplin diam di rumah, menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, dan selalu menjaga stamina. Sebaliknya, good news pun harus diolah agar layak dijual.
Jadi, tidak perlu ragu untuk menghadirkan bad news selama niat kita sungguh-sungguh berniat mengingatkan agar kita terhindar dari bencana. Di saat yang sama, media harus terus menambah porsi good news. Sebab, seperti kata pepatah, di balik musibah dan wabah seberat apa pun, selalu ada kebaikan.
Selalu ada orang-orang baik yang bekerja dengan hati sekaligus menawarkan harapan, semangat, dan optimisme. Selalu ada pahlawan yang bekerja keras menghalau wabah. Kepada merekalah kita bisa banyak belajar.[]
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.

