Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id (Syah Sabur)

Syah Sabur

Jurnalis Senior Medcom.id

Belajar dari Ekuador

Syah Sabur • 21 April 2020 10:14
Org yg ke masjid utk beribadah disebut tamu Allah. Logikanya, sang tamu akan dijaga, diawasi, dilindungi oleh Sang Pemilik Rumah. Mustahil seorg tamu yg sdg bertamu ke rmh Allah dibiarkan celaka akibat serangan corona. Sang Pemilik Rumah Maha tahu & Maha Mengatur makhlukNya yg super nano bernama virus corona. Bagi Sang Pemilik Rumah tentu sangat mudah utk memerintah atau menahan virus corona agar tdk masuk Rumah Allah. Hal itu tentu sangat mudah bagi Allah. Lagi pula, mustahil Allah membiarkan para hamba yg menyembah kpdNya di Rmh Allah celaka terpapar corona. Apabila menggunakan bernalar menggunakan logika iman, pasti meyakini hal itu tdk mungkin hal itu terjadi.
 
ITULAH salah satu kalimat provokatif agar masyarakat tetap beribadah di masjid di tengah pandemi covid-19. Pesan tersebut mampu membius sebagian umat di berbagai grup WhatsApp (WA). Bahkan, pengaruh dari berbagai “ulama” yang menyebarkan kalimat provokatif seperti itu mengalahkan tausiyah Tuan Guru Bajang (TGB), Aa Gym, Ustad Abdul Somad (UAS), sekaligus menegasikan seruan PBNU, PP Muhammadiyah maupun fatwa MUI. Padahal, para ulama, ormas keagamaan, dan MUI menyertakan dalil-dalil yang sahih agar umat menghindari ibadah di masjid di saat wabah korona.
 
Di saat Pilpres tahun lalu, apapun ucapan Aa Gym dan UAS, hampir selalu diamini banyak umat Islam, khususnya pendukung Prabowo-Sandi. Rupanya sekarang idola mereka bukan lagi Aa Gym atau UAS, melainkan siapapun yang bisa melawan fatwa MUI yang sudah mereka anggap sebagai “corong” pemerintah.
 
Orang yang mendorong umat untuk beribadah di masjid di awal tulisan ini misalnya, bukan ulama kharismatik seperti TGB, UAS atau Aa Gym. Dia adalah Ahmad Kusyadi, yang menyebut dirinya sebagai motivator ilmu manajemen sasyuik (sabar, syukur, ikhlas). Sekadar tahu, orang-orang seperti ini banyak jumlahnya. Ngotot ibadah di masjid
 
Warga yang ngotot beribadah di masjid di tengah wabah korona juga ada di Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang. Di sana sejumlah masjid masih aktif menggelar salat fardu berjamaah, salat Jumat, dan kemungkinan besar juga salat tarawih pekan depan. Alasannya, selain menganggap Rajeg belum masuk zona merah, mereka juga percaya masjid adalah “rumah Allah” yang akan melindungi jemaah dari wabah korona. Persis seperti kalimat provokatif di awal tulisan ini.
 
Pekan ini juga muncul video kericuhan yang disebut-sebut di salah satu daerah di kota Tangerang. Video tersebut memperlihatkan sejumlah warga di masjid yang memaki ustad dan ulama karena menolak memimpin salat berjamaah di masjid.
 
Di Kota Bengkulu bahkan MUI setempat mengeluarkan maklumat yang mengizinkan salat tarawih di masjid. Alasannya, Kota Bengkulu, masih tergolong dalam zona aman pandemi covid-19. Padahal, ada satu kematian dari empat kasus covid-19 di kota tersebut.
 
Memang MUI Bengkulu menyebut 10 syarat wajib untuk melaksanakan salat berjamaah di masjid, seperti menjaga dan memastikan kebersihan masjid, menggulung karpet, dan jemaah membawa sajadah sendiri. Syarat lain, umat harus salat di masjid di lingkungan sendiri, jemaah yang sakit dilarang salat di masjid, dan beberapa syarat lainnya. Tapi, tidak ada jaminan bahwa ke-10 syarat tersebut bisa dijalankan dengan disiplin.

Seharusnya masyarakat paham bahwa kerumunan manusia, di mana pun, adalah salah satu pemicu penularan covid-19.

Jauh sebelumnya, ribuan umat dari dalam dan luar negeri ngotot menghadiri Ijtima Asia di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Walaupun akhirnya acara tersebut berhasil dibubarkan, tapi sekitar 8.000 orang sempat berkumpul. Akibatnya, sejumlah umat positif korona.
 
"Kami lebih takut kepada Tuhan," kata salah satu penyelenggara, Mustari Bahranuddin, kepada Reuters, ketika ditanya tentang risiko peserta menyebarkan virus pada acara tersebut. Mereka mengabaikan bahaya korona berkat seruan panitia bahwa "Kenikmatan hidup di dunia ini hanya sedikit, dibandingkan dengan kehidupan setelah kematian."
 
Kerumunan pemicu covid-19
 
Padahal dua pekan sebelumnya, acara serupa di Malaysia menyebabkan lebih dari 500 orang terbukti positif korona. Acara yang diselenggarakan dari 27 Februari hingga 1 Maret itu diikuti 16.000 umat Muslim.
 
Seharusnya masyarakat paham bahwa kerumunan manusia, di mana pun, adalah salah satu pemicu penularan covid-19. Karena itulah, MUI mengeluarkan fatwa yang meminta masyarakat untuk sementara tidak beribadah di masjid. Kalau banyak umat mengabaikan seruan untuk beribadah di rumah, entah apa yang akan terjadi ke depan.
 
Yang jelas, angka korban korona masih terus meningkat. Tanggal 20 April ada 6.760 kasus positif, 747 sembuh, dan 590 meninggal.
 
Padahal, ibadah berjemaah hanya salah satu sumber potensial penularan korona. Potensi lain adalah berkumpulnya manusia di tempat kerja. Karena itulah, lewat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), pemerintah meliburkan sejumlah instansi dan sektor usaha, kecuali yang sangat strategis (yang jumlahnya tidak sedikit). Pemerintah juga mengatur pekerjaan tertentu untuk dilakukan di rumah (work from home).
 
Pemerintah juga menyerukan masyarakat untuk menjaga jarak di angkutan umum. Untuk itu, pemerintah sempat meminta KRL agar berhenti beroperasi di saat PSBB.
 
Masih ada lagi potensi terjadinya penumpukan massa, yaitu saat pembagian sembako untuk keluarga miskin serta arus mudik. Khusus soal mudik, pemerintah hanya mengimbau (bukan melarang) agar warga tidak pulang kampung.
 
Artinya, Indonesia menghadapi banyak potensi penumpukan manusia yang sulit dihindari dan benar-benar harus diwaspadai. Kita hendaknya menjadikan kasus di Ekuador, Amerika Latin, sebagai pelajaran yang amat berharga.
 
Horor Ekuador
 
Ekuador menjadi horor karena banyak mayat tidak bisa dikuburkan dan dibiarkan tergeletak di jalan atau di rumah selama berhari-hari. Akibat kehabisan peti mati, warga menggantinya dengan kardus.
 
Per hari ini, 20 April 2020, jumlah pasien terinfeksi covid-19 di Ekuador mencapai 9.468 orang, 474 di antaranya tewas. Namun, jumlah korban diyakini jauh lebih banyak, sebagaimana diakui Presiden Ekuador, Lenin Moreno, akibat minimnya alat rapid test. Karena itu, banyak pihak menduga, 6.700 kematian pada bulan ini sebagian besar terkait dengan korona.

Pemerintah Indonesia, meskipun banyak hal harus dikritisi, tentu masih jauh lebih baik dibandingkan Ekuador dalam menangani wabah ini.

Menurut laporan BBC, tingginya kematian akibat korona di Ekuador disebabkan sejumlah hal, yaitu lemahnya sistem kesehatan dan banyaknya warga yang mengabaikan protokol #jagajarak. Mungkin ada satu hal yang tidak disebut BBC, tingginya kematian juga merupakan buah dari lemahnya pemerintahan.
 
Pemerintah Indonesia, meskipun banyak hal harus dikritisi, tentu masih jauh lebih baik dibandingkan Ekuador dalam menangani wabah ini. Namun, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri tanpa dukungan masyarakat. Apalagi ada aspek lain kecuali penumpukan massa yang harus diwaspadai Indonesia, yaitu masih minimnya alat rapid test dan kurangnya APD (alat pelindung diri).
 
Tentu tak ada yang berharap mimpi buruk di Ekuador akan terjadi di negara kita. Karena itulah semua pihak harus disiplin melaksanakan protokol #dirumahaja, #jagajarak, #pakaimasker, #cucitangan, dan #jagastamina.
 
Jika tidak, bukan mustahil jumlah korban akan makin banyak dan pada akhirnya rumah sakit akan kewalahan menangani korban korona. Itulah bibit awal mimpi buruk. []
 
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Virus Korona

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif