SEORANG teman dalam grup percakapan Whatsapp membagi tautan dari Facebook berisi penjelasan ilmiah tentang ulama sejuk dan ulama keras. Meskipun memakai istilah penjelasan ilmiah, jatuhnya tetap menghadap-hadapkan, menggampangkan kesimpulan (cenderung stigmatisasi), dan jauh dari metode penjelasan ilmiah yang ketat. Kontan, tulisan itu memantik pro dan kontra anggota grup WA.
Di beberapa grup percakapan lainnya, dikotomi serupa dengan sebutan berbeda juga marak terjadi. Ada yang membaginya dengan istilah ustaz sejuk dan ustaz keras. Kendati beda sebutan, framing dalam konten itu sama: cenderung nyinyir kepada mereka yang suka sosok sejuk dan menaikkan derajat mereka yang condong ke sosok keras.
Misalnya tulisan penjelasan ilmiah seperti berikut ini, “Saudara sepupu saya sangat mengidolakan beberapa ulama yang dia sebut ulama sejuk. Sebaliknya, dia sangat anti dengan beberapa ulama yang dia sebut ulama garis keras. Alasan dia, ulama harus bertutur kata lembut. Mengajak dan menasihati. Bukan membuat orang jadi saling membenci. Tentu saja sikap sepupu saya ini sangat lumrah.”
Sang penulis lalu melanjutkan, “Saya bilang, tidak ada yang salah dengan sikap untuk lebih menyukai ulama-ulama sejuk tadi. Hanya saja jadi salah kalau dilanjut dengan sikap membenci ulama-ulama yang dianggap garis keras. Ajaran Islam bukan cuma mengajak dan menasihati. Tapi juga melarang. Setiap orang Islam diwajibkan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Mengajak ke kebaikan dan mencegah kemungkaran.”
Sampai di sini saya masih bisa memahami logika sang penulis. Sampai kemudian mata saya tertuju pada deretan kalimat berikutnya, “Sudah sifat manusia lebih senang diajak daripada dicegah. Lebih suka dinasihati daripada dilarang. Makanya wajar kalau pemabuk, penjudi, agen narkoba, koruptor, dan penjahat lainnya lebih senang dengan ulama sejuk yang cuma menasihati daripada ulama garis keras yang akan melarang dan mencegah aktivitas dosa mereka.”
Sang penulis juga berkesimpulan beban ulama-ulama yang berani berceramah untuk mencegah kemungkaran jauh lebih berat dan berisiko daripada ulama yang lebih memilih ceramah sejuk. Ulama-ulama sejuk, lanjut dia, biasanya juga akan disukai penguasa.
Sebaliknya, ulama-ulama yang berani nahi munkar akan dibenci oleh penguasa. Itu karena, ini kesimpulan dia yang gampangan, penguasa dan kekuasaan sangat identik dengan kezaliman dan orang-orang zalim. Ia pun mempertanyakan, kenapa kita-kita yang bukan penjahat juga keberatan dengan ulama garis keras?
Sang penulis akhirnya terjebak pada kesimpulan yang berisi vonis. Kata dia, “Bagi saudara-saudara muslim (atau yang mengaku Islam) yang cuma mencintai ulama-ulama sejuk dan sebaliknya membenci ulama garis keras, menurut saya keimanan dan keislaman Anda baru separuh.”
Saya lalu menulis di WAG demi menanggapi tulisan yang katanya ilmiah tapi nyatanya tendensius, tersebut dengan kalimat sederhana, keras itu bukan berarti kasar. Keras itu tegas dan penuh prinsip. Sedangkan kasar itu penuh amarah, kegeraman, kekotoran, dan kebencian.
Buya Hamka, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Buya Syafii Maarif, KH Musthofa Bisri itu keras dan tegas pada masalah-masalah yang prinsip, namun tidak kasar. Cara mereka tetaplah sejuk, tidak menebar kebencian, tanpa kata makian, pula tanpa ujaran kebencian.
Merekalah para teladan bahwa dakwah itu mengajak bukan mendepak, merangkul bukan memukul, meneguhkan bukan menceraiberaikan, menjelaskan bukan mengeluarkan makian. Apakah kesejukan mereka, ketidakkasaran mereka, merupakan bentuk penghambaan terhadap kekuasaan? Jelas tidak. Beberapa kali para sosok tersebut berseberangan dengan pemerintah dan kebijakan negara.
Toh, mereka tetap sejuk, menyampaikan kritik dengan takaran yang keras, tapi tidak kasar. Risiko mereka juga tak kalah tinggi bila dibandingkan dengan sosok-sosok pengumbar kekasaran.
Saya kok yakin, kadar keimanan dan keislaman orang-orang yang menyukai mereka sangat tinggi, jauh lebih dari separuh sebagaimana yang dipersangkakan tadi (tentu penilai kadar yang sesungguhnya ialah Yang Maha Tahu). Justru mereka itu mengamalkan perintah Tuhan, ‘Ajaklah orang-orang menuju jalan Tuhan dengan hikmah dan cara-cara yang baik. Bila ada perdebatan (adu argumentasi), lakukanlah dengan cara yang baik, penuh keadaban’.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Abdul Kohar
Dewan Redaksi Media Group