Lili memutuskan mundur lewat surat yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo sejak 30 Juni. Pengunduran diri itu disetujui Jokowi dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 71/P/2022 terhitung sejak 11 Juli.
Sangat jarang pejabat publik mengundurkan diri. Lili memilih jalan itu ketika dia dibelit masalah pelik. Masalah yang berhubungan dengan standar dasar sebagai insan KPK yang wajib dan mutlak menjunjung tinggi integritas.
Integritas Lili sudah lama dipersoalkan. Dia tersandung sejumlah kasus dugaan pelanggaran etik. Pada Agustus 2021, oleh Dewan Pengawas atau Dewas KPK, dia bahkan dinyatakan melanggar dua hal. Pelanggaran pertama, Lili menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi. Kedua, berhubungan dengan seseorang yang sedang diperiksa perkaranya oleh KPK, yakni Wali Kota nonaktif Tanjung Balai, Sumatra Utara, M Syahrial. Sanksi pun dijatuhkan, tetapi hanya pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan. Sanksi yang boleh dibilang teramat ringan.
Baca:Komisi III: Proses Hukum Dugaan Gratifikasi Lili Pintauli Tetap Harus Dilanjutkan |
Lili kiranya komisioner yang paling sering terbelit kasus pelanggaran etik. Dia juga dilaporkan Novel Baswedan dan Rizka Anungnata atas dugaan berhubungan dengan salah satu kontestan pilkada Kabupaten Labuhanbatu Utara pada 2020, Darno.
Lili juga disebut secara jelas oleh Stepanus Robin Pattuju, bekas penyidik yang berbalik menjadi pesakitan KPK dalam kasus Syahrial. Di depan sidang, dia membeberkan peran Lili dalam perkara itu.
Lili dilaporkan pula oleh IM57+ Institute. Ini wadah 57 eks pegawai KPK yang dipecat karena gagal tes wawasan kebangsaan. Lili mereka sebut telah melakukan pembohongan publik. Sebabnya, dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam jumpa pers 30 April 2021, Lili membantah melakukan komunikasi dengan Syahrial.
Kasus terkini lebih berat lagi. Tidak hanya terkait dengan etik, kasus termutakhir itu juga bau-bau gratifikasi. Bau-bau pidana. Ya, Lili diduga menerima tiket dan akomodasi menonton gelaran Moto-GP Mandalika pada Maret 2022. Dugaan ini dibawa ke meja Dewas KPK. Dewas juga sudah bergerak, termasuk meminta konfirmasi PT Pertamina, dan tinggal ketuk palu membacakan keputusan.
Sebagai lembaga penegak hukum yang khusus untuk menegakkan hukum dalam perkara korupsi, KPK punya standar moral teramat tinggi. Jangankan fasilitas berharga mahal, pegawai KPK dibiasakan menolak makanan atau bahkan sekadar air mineral ketika diundang dalam suatu acara. Bukan sok, bukan mentang-mentang, tradisi itu merupakan fondasi untuk tidak menerima pemberian apa pun, sekecil apa pun.
Budayawan Sujiwo Tejo pernah men-twit pengalamannya tentang standar tinggi KPK. ‘Dulu banget aku pernah satu forum diskusi Ketua KPK di suatu kampus di Semarang. Hingga kurang 15 menit acara, tak ada satu pun panitia yang tahu Ketua KPK nginep di mana, naik apa dari Jakarta, dll. 'Tapi masih confirmed beliau akan datang, Mbah,' kata ketua panitia. Dan datang’, begitu cicitannya.
Dengan standar seperti itu, siapa pun yang merasa tak sepaham, siapa saja yang keberatan, memang tak layak berada di KPK. Sebagai lembaga luar biasa untuk memberangus kejahatan luar biasa, KPK memang mesti punya standar kinerja luar biasa.
Kita, setidaknya saya, menghormati pengunduran diri Lili. Namun, tak sedikit pula, termasuk saya, yang mempertanyakan kenapa putusan itu baru diambil akhir-akhir ini? Kenapa tidak dari dulu-dulu ketika laporan dugaan pelanggaran etik terhadap dirinya berdatangan ke meja Dewas KPK?
Profesor Patrick Dobel dalam tulisannya The Ethics of Resigning memaparkan tiga landasan pejabat publik sudah perlu mengundurkan diri. Pertama, ia seharusnya lengser jika tahu atau menyadari bahwa antusiasme dalam menjalankan fungsi publik menurun.
Kedua, ia perlu mundur saat tak taat pada janji, baik amanah maupun kewajibannya, serta tak memiliki kemampuan pribadi di bidang yang dipimpin. Alasan ketiga, kata Dobel, pengunduran diri semestinya dilakukan ketika tak dapat mengumpulkan dukungan publik, juga dukungan politik.
Pengunduran diri ialah representasi jiwa kesatria, perwujudan kebesaran hati, juga pemenuhan akan tanggung jawab. Jika itu yang ada, semestinya Lili sudah mengakhiri kiprahnya di KPK jauh-jauh hari. Bukan mundur ketika penanganan kasus yang menelikungnya mendekati finis menuju gerbang hukuman.
Pengunduran diri Lili semestinya juga tak menggugurkan perkara dugaan penerimaan gratifikasi. Sayang, dewas keburu menyudahi penanganan kasusnya. Alasannya, Lili bukan lagi insan KPK. Alasan yang sulit untuk diterima, sama sulitnya ketika dewas hanya memberikan sanksi pemangkasan gaji Lili tempo hari.