Dengan standar seperti itu, siapa pun yang merasa tak sepaham, siapa saja yang keberatan, memang tak layak berada di KPK. Sebagai lembaga luar biasa untuk memberangus kejahatan luar biasa, KPK memang mesti punya standar kinerja luar biasa.
Kita, setidaknya saya, menghormati pengunduran diri Lili. Namun, tak sedikit pula, termasuk saya, yang mempertanyakan kenapa putusan itu baru diambil akhir-akhir ini? Kenapa tidak dari dulu-dulu ketika laporan dugaan pelanggaran etik terhadap dirinya berdatangan ke meja Dewas KPK?
Profesor Patrick Dobel dalam tulisannya The Ethics of Resigning memaparkan tiga landasan pejabat publik sudah perlu mengundurkan diri. Pertama, ia seharusnya lengser jika tahu atau menyadari bahwa antusiasme dalam menjalankan fungsi publik menurun.
Kedua, ia perlu mundur saat tak taat pada janji, baik amanah maupun kewajibannya, serta tak memiliki kemampuan pribadi di bidang yang dipimpin. Alasan ketiga, kata Dobel, pengunduran diri semestinya dilakukan ketika tak dapat mengumpulkan dukungan publik, juga dukungan politik.
Pengunduran diri ialah representasi jiwa kesatria, perwujudan kebesaran hati, juga pemenuhan akan tanggung jawab. Jika itu yang ada, semestinya Lili sudah mengakhiri kiprahnya di KPK jauh-jauh hari. Bukan mundur ketika penanganan kasus yang menelikungnya mendekati finis menuju gerbang hukuman.
Pengunduran diri Lili semestinya juga tak menggugurkan perkara dugaan penerimaan gratifikasi. Sayang, dewas keburu menyudahi penanganan kasusnya. Alasannya, Lili bukan lagi insan KPK. Alasan yang sulit untuk diterima, sama sulitnya ketika dewas hanya memberikan sanksi pemangkasan gaji Lili tempo hari.