Dalam perjalanan selama 75 tahun, semua Presiden Republik Indonesia selalu menyatakan sumpah. “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Memegang teguh UUD 1945, artinya presiden memegang amanat untuk melaksanakan isi dari pembukaan UUD 1945, termasuk di dalamnya lima sila dasar negara Pancasila, serta pasal-pasal dalam UUD 1945. Muara dari amanat itu, presiden wajib mengantarkan bangsa dan negara ini menuju peradaban Indonesia yang lebih baik.
Peradaban dalam bahasa Indonesia sering diidentikkan dengan kata kebudayaan. Akan tetapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization(peradaban) dan culture(kebudayaan). Demikian pula dalam bahasa Arab dibedakan tsaqafah (kebudayaan), hadharah (kemajuan) dan tamaddun (peradaban). Arnold Toynbee di dalam bukunya The Disintegrations of Civilization mengemukakan, peradaban ialah kebudayaan yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi.
"Sejauh mana kemajuan peradaban bangsa Indonesia setelah 75 tahun merdeka? Pada peradaban mana yang masih harus kita benahi, dan pada peradaban mana yang menjadi kelebihan dan harus dipupuk terus menerus?," kata Ade Alawi, Head of News Research Center (NRC) Media Group News di Jakarta, Rabu (12/8).
Untuk mengetahui respon masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. NRC menggelar survei daring bertajuk “Refleksi 75 tahun Peradaban Indonesia”.
13 Pertanyaan Opsional
Upaya penggalian sejauh mana peradaban dalam berbagai dimensi kehidupan menguat, NRC menyusun pertanyaan penelitian. “Tentu sebagai insan media, NRC tetap mempertimbangkan pasal-pasal seksi dalam UUD 1945 dalam konteks peradaban,” jelas Ade Alawi.
NRC menyusun 13 pertanyaan opsional, dan satu pertanyaan terbuka berupa saran responden tentang apa yang harus dibenahi untuk memperbaiki peradaban Indonesia.
Pertanyaan kepada responden sengaja diawali dengan kalimat: “setelah 75 tahun Indonesia merdeka….” dengan harapan responden tidak hanya terjebak pada apa yang telah dicapai pemerintahan sekarang, namun apa yang dicapai selama 75 tahun sejak proklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Pertanyaan berbasis pada isi UUD 145, dan diproyeksikan mewakili penjabaran dari lima sila Pancasila. Misalnya, nilai gotong royong dan ikut menjaga perdamaian dunia selaras dengan penjabaran sila “persatuan Indonesia”. Penilaian terhadap hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, selaras dengan penjabaran sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.
“Kami menyadari, survei daring memungkinkan responden mengisi lebih dari sekali. Kendati demikian, sebelum diolah kami menyisir satu persatu kemungkinan responden mengisi ganda, sehingga hasil tetap bisa dipertanggungjawabkan,” kata Ade Alawi.
Selanjutnya, pertanyaan tentang sejauh mana peradaban kita dalam hal kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, senafas dengan penjabaran sila “kerakyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sedangkan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah, selaras dengan penjabaran sila “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Survei daring bertajuk Refleksi 75 tahun Peradaban Indonesia menggunakan media online dan media sosial (twitter, instagram, dan facebook) di lingkungan media group news. Media online yang dimaksud adalah Medcom.id, Mediaindonesia.com, Lampost.co, dan medcom.id. Dengan demikian subjek responden adalah pemirsa dan pembaca media, serta follower di media sosial di semua platform Media Group News.
“Kami menyadari, survei daring memungkinkan responden mengisi lebih dari sekali. Kendati demikian, sebelum diolah kami menyisir satu persatu kemungkinan responden mengisi ganda, sehingga hasil tetap bisa dipertanggungjawabkan,” kata Ade Alawi.
Ade menambahkan, karena penjaringan responden melalui media online dan media sosial, maka metodologi penelitian menggunakan nonprobability sampling, di mana pengambilan responden tidak memberi peluang bagi NRC yang harus dipilih menjadi sampel.
Demografi responden
NRC memotret demografi responden berdasarkan wilayah, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan responden, serta agama dan kepercayaan yang dianut responden. Responden yang mengisi pertanyaan penelitian via daring ini selama 24 Juli- 6 Agustus berjumlah 553 orang.
Peta responden berdasarkan wilayah Sumatera (15,19%), Jawa (74,50%), Kalimantan (1,99%), Bali dan Nusa Tenggara (3,62 %), sementara wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (4,70%). Responden berdasarkan jenis kelamin: laki-laki (61,84%) dan perempuan (38,16%).
Demografi responden berdasarkan status pernikahan: menikah (63,11%), tidak menikah (33,82%) pernah menikah, janda atau duda (3,07%),
Demografi responden berdasarkan pendidikan terakhir: SMP (0,90%), SMA/SMK (22,60%), diploma D1-D3 (6,15%), Sarjana strata 1 (44,67%), Sarjana strata 2 (22,60%), doktor S3 (3,07%).
Responden berdasarkan agama: Islam (77,40%), Kristen (11,03%), Katolik (8,86%), Buddha (1,45%), Hindu (1,27%).
Sementara demografi responden berdasarkan usia: di bawah 17 tahun (1,81%), usia 18-25 tahun (20.80%), 26-35 tahun (19,53%), 36-45 tahun (22,06%), 46-55 tahun (27,86%), 56-65 tahun (7.05%), dan 66 tahun ke atas (0,90%).
Menko Polhukam Mahfud MD, sebagai keynote speaker webinar membahas hasil survei daring refleksi 75 tahun Peradaban Indonesia, membenarkan masih kuatnya oligarki politik di negara ini.
Demografi berdasarkan profesi responden: ASN/pegawai BUMN (19,35%), pegawai swasta (37,97%), TNI/POLRI (0,72%), pengusaha (7,05%), pengacara (0,54%), dokter (1,81%), politikus (4,52%), pelaku UMKM (5,24%), pensiunan/veteran (1,27%), tidak/belum bekerja (21,52%).
Demografi responden berdasarkan jumlah pengeluaran bulanan: kurang dari Rp 300 ribu (7,90%), Rp 300 ribu- Rp 500 ribu (5,61%), Rp 500 ribu –Rp 750 ribu (5,06%), Rp 750 ribu- Rp 1,25 juta (7,23%), Rp 1,25- Rp 2,5 juta (18,44%), Rp 2,5 juta – Rp 5 juta (25,68%), Rp 5 juta lebih (30,02%).
Untuk memperkuat hasil penelitian, NRC menggelar webinar membahas hasil survei tersebut pada 11 Agustus 2020 dengan keynote speaker Menko Polhukam Mahfud MD dan 4 narasumber lainnnya. Mereka adalah Haryono (Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Enny Sri Hartarti (peneliti senior Indef), Karim Suryadi (guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), dan Zainal Arifin Mochtar (pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta).
6 Modal Positif untuk Bangkit
Survei tersebut menghasilkan setidaknya enam modal positif dan 5 saran agar Peradaban Indonesia bergerak maju. Dari 13 pertanyaan tertutup (dengan skala penilaian dari sangat baik sampai sangat tidak baik), ada enam jawaban yang bisa menjadi modal bagi bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik.
Pertama, nilai gotong royong di masyarakat masih baik (56,42%). Kedua, kebebasan berserikat, berkumpul, dan hak mengeluarkan pendapat, responden menilai positif (63,29%). Ketiga, perkembangan demokrasi di tanah air 57,50%, dan yang menjawab biasa saja 17,18 %.
Keempat, penghormatan terhadap identitas budaya masyarakat tradisional secara umum dinilai baik sebesar 54,61%. Kelima, kebebasan beragama dinilai baik 62,75%. Keenam, keikutsertaan Indonesia menjaga perdamaian dunia 68,00%.
Kendati demikian, 6 modal positif dari hasil survei daring ini bukan berarti tanpa tantangan. Dalam konteks kemajuan demokrasi yang kita raih, ada satu kendala, yaitu masih kuatnya oligarki politik.
Menko Polhukam Mahfud MD, sebagai keynote speaker webinar membahas hasil survei daring refleksi 75 tahun Peradaban Indonesia, membenarkan masih kuatnya oligarki politik di negara ini. “Akibatnya, banyak kebijakan yang muncul bernuansa koruptif yang hanya mengedepankan demokrasi prosedural semata,” ujar Mahfud MD.
Mahfud mengenang masa keemasan demokrasi di Indonesia ketika era reformasi bergulir pada tahun 1998. Saat itu demokrasi tumbuh dan menemukan momentum. Sayangnya, ungkap Mahfud, praktik demokrasi di Indonesia hanya terjadi dan berlangsung baik selama satu periode kepemimpinan saja.
“Setelah itu bergeser menjadi oligarki. Praktik kenegaraan kita banyak yang oligarkis dan muncul kebijakan koruptif karena diputuskan secara oligarkis, bukan demokratis,” jelasnya.
Hukum mengubah perilaku
Mahfud menyebutkan, pada dasarnya hukum yang dibuat oleh negara bisa mengubah perilaku masyarakat untuk menjadi lebih baik. Namun hal tersebut bisa direalisasikan apabila hukumnya ditegakkan dengan baik dan ada kontrol masyarakat.
Haryono, Wakil Kepala BPIP mengamini pernyataan Mahfud MD. Menurut Haryono, ada perilaku warisan kolonial yang masih menjangkit sampai saat ini, mental terjajah (inlander-Red).
“Dulu rakyat kita malas bekerja lantaran bagaimanapun mereka bekerja keras, toh yang menikmati adalah penjajah, maka muncullah karakter malas,” jelas Haryono.
Oleh sebab itu, Haryono menekankan, bagaimana bangsa ini harus mengubah karakter. “Karakter terjajah, harus berubah menjadi karakter merdeka," tandasnya.
Haryono mengapresiasi temuan riset NRC tentang refeksi 75 tahun peradaban Indonesia. Menurutnya, hasil survei daring bisa menjadi referensi BPIP untuk menentukan langkah bagaiamana memetakan sila Pancasila di mata masyarakat.
Selain menghasilkan respon positif, hasil survei juga menyisakan sentimen negatif di mata responden. Saat ditanya, bagaimana negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945, responden menilai tidak baik (52,07%). Menanggapi pertanyaan negara menjamin semua warga negara mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, respoonden merespons tidak adil (57,50%).
Bagaimana dengan masih munculnya perlakuan diskriminatif dalam konteks bernegara, responden menjawab tidak baik 42,67%) dan yang menyatakan sudah baik 34,00%.
Setali tiga uang, upaya negara bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat dinilai tidak baik oleh responden (30%) dan yang menyatakan baik sebesar 37,07%.
Amanat UUD 1945 bahwa negara wajib memelihara fakir miskin dan orang terlantar direspon negatif oleh responden (50,45%). Selain itu, 47,56% responden juga menilai sistem pendidikan masih dinilai kurang baik (47,56%). Terakhir, responden yang menilai baik untuk bidang kesehatan hanya 49,19%.
Penelitisi senior Indef Enny Sri Hartarti menjelaskan, kedaulatan ekonomi masih jauh dari harapan. “Sosial gap antara si kaya dan si miskin masih lebar. Mereka yang menikmati kekayaan alam masih berpihak pada segelintir elite, dan negara memelihara bercokolnya oligarki,” tandas Enny.
Untuk memberikan ruang kebebebasan berpendapat, NRC menyodorkan pertanyaan terbuka kepada responden, apa saran mereka agar Peradaban Indonesia bisa lebih maju. NRC mengelompokkan setidaknya ada 15 saran dari responden. Dari 15 saran, terdapat 5 besar yang dikuantifikasi.Pertama, perlu pendidikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara (20,43%). Kedua, sistem pendidikan harus semakin baik (12,61%). Ketiga, negara harus menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (11,37%). Keempat, hukum harus ditegakkan secara adil (9,59%). Kelima, perlu keteladanan pemimpin sebagai panutan rakyat (8,88%). Semoga Indonesia semakin jaya. []
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.