Apakah nalar kritis kita tumbuh dan membangkitkan gairah kemanusiaan untuk cepat beradaptasi dengan situasi yang relatif baru dan tak terduga, agar tidak terbelenggu dalam cekaman yang tak layak dijalani? Hal ini tergantung bagaimana respon dan daya kritis kita memaknai setiap tikungan terjal keadaan.
Sadar bahwa Tuhan meletakkan kebaikan pada setiap sesuatu. Prinsip khalqun jadid harus kita maknai, bahwa evolusi kehidupan seluruh penghuni jagat dengan beragam entitas dan fenomena apapun adalah keniscayaan.
Kesadaran ini memecut asa kemanusiaan kita untuk segera berikhtiar. Beradaptasi dengan alam dan model interaksi sosial yang baru serta adaptable dengan warna kehidupan yang otomatis baru (new normal). Pertanyaan berantai terkait pemahaman dan model kenormalan-kenormalan baru (new normal) seperti apa yang akan kita jumpai dalam bidang sosial, dalam aspek pendidikan dan moral keberadaban kita, tentu juga kenormalan-kenormalan baru dalam sektor-sektor lain.
Semua harus terjawab dalam sebuah kebijakan dan regulasi yang ramah sosial dan berbasis local wisdom, agar new normal yang akan kita tapaki terukur dalam dua hal. Terukur menurut kaidah agama karena bangsa Indonesia bukan bangsa tanpa agama, dan terukur dalam kepantasan adat dan adab ketimuran bangsa kita. Dua parameter tersebuut sebagai standar minimal yang mesti dipahami dan dihayati, khususnya oleh para pemangku kebijakan di republik merah putih ini.
Bangun optimisme Kita bangun optimisme sejak dalam pikiran dan tinggalkan kegaduhan politik belah bambu yang tidak memiliki arti. Llihatlah betapa para saintis dengan tekun mengurung diri di laboratorium, tidak berhenti melakukan riset, demi memenuhi kewajiban etik dan asas manfaat bagi manusia, hingga ditemukan vaksin penyembuh virus corona.
Para agamawan dengan khusyuk duduk berimpuh di biara, katedral, pura, dan di masjid. Mereka bahkan berkontemplasi dengan cara yang kadang tak dapat dipahami oleh pelaku syariat dan aturan hukum biasa.
Mereka adalah para wali Tuhan, para biksu, para pendeta, para biarawa, para santri, para pesuluk dan seterusnya. Mereka tidak akan putus asa mengetuk pintu langit, agar musibah covid segera berlalu bil Musthofa Wal Murtadlo wa bnahuma wa al- Fatimah. Demikian pula dengan seluruh komponen anak bangsa terus melakukan riyadloh penanggulangan dan penyejahteraan secara masif.
Maka janganlah mengumpat, menyalahkan dan jangan menebar kebencian tetapi berterima kasihlah kepada siapapun yang telah memberikan sumbangan penting terhadap kemanusiaan, baik pemikiran ataupun langkah konkrit yang sudah dilakukan semasa pandemi covid-19, terlepas dari kekurangan dan keterbatasannya, masing-masing memiliki lakon sendiri.
Renungkanlah, bumi yang luas dengan hamparan nikmat dan karunia, semua dihadirkan untuk manusia. Lihatlah mentari pagi terus berpijar, sebagai simbol pelukan hangat dari Sang Maha Rahman. Ayat Inna ma'al usri yusro, sisi Yin dan Yang Tuhan (QS: 94:5) sebagai basis ontologis dari spirit agama, bukan prinsip before and after, karena di balik musibah tersembunyi hikmah.
Lalu dikukuhkan dengan ayat yang lainnya, La tahzan, innallaha ma'ana (QS: 9:40) sebagai pernyataan Sang Mutlaq, bahwa Tuhan hadir (present) di setiap waktu dan keadaan. Ayat-ayat tersebut menjadi penjelas bahwa sifat kasih-Nya mendahului murka-Nya.
Mendistorsi kebertauhidan
Petaka dan musibah ketika dipahami secara sentimen psikologis , pada ahirnya mendistorsi kebertauhidan kita pada sifat rahman rahim-Nya. Jangan berpikir di luar logika beragama, atau jangan membenturkan jalur natural eksistensi kemanusiaan agar tidak fatal dan menjadi jahil.
Di rahim kehidupan, segala sesuatu saling terhubung, layaknya jejaring laba-laba yang terus bergerak tak pernah diam. Ada getaran dan ritme yang saling tarik menarik. Apa yang ada di sekitar kita memiliki gelombang yang sama seperti kita rasakan dalam tubuh dan jiwa.
Maka pikiran dan kesadaran kita harus diarahkan pada satu poros kesadaran, agar getaran yang di luar mengarah dan memberi getaran positif pada apa yang ada di dalam diri. Untuk itulah kenapa Tuhan berfirman, Sanurihim ayatina fil afaqi wa fi anfusihim (QS: 41:53).
Maka secara sederhana kita tafsirkan sebagai penegasan Tauhid, bahwa Tuhan itu adalah Sang Maha Kebenaran, tanda keberadaan-Nya jelas berada dalam semesta raya dan semesta kecil. Karena itu, sadar bertauhid sadar juga akan aspek etika relasional antar penghuni bumi.
Dengan mengutip pepatah bijak, kita adalah miniatur dari jagat multiverse. Hamparan kesejukan dari hembusan angin, kokohnya bumi yg kita diami, indahnya langit menjulang, bertabur gemintang dan cahaya rembulan, serta tarian ombak di laut nan biru.
Esensi keragaman
Esensi keragaman itu juga terkorespondensi dalam tubuh indah kita. Jangan pesimis, mari tersenyum ramah dalam keadaan apapun. Meskipun tangis dan tawa adalah sah menjadi milik kita, tapi berlebihan dari semua itu adalah gila dan dungu.
Marah dengan keadaan, sama dengan marah kepada diri sendiri, ketidakmampuan kita mengelola konflik, ketidakpahaman kita terhadap fenomena alam, sebenarnya adalah akibat karena kita menolak determinisme agama yang sakral, Tuhan diletakkan di pojok ruang kesadaran. Tuhan tidak pernah kita hadirkan sebagai yang Pertama, Tuhan dibutuhkan hanya pada saat-saat terakhir, sebagai penyelamat yang tak pernah kita sapa dengan benar.
Hal ini bertolak belakang dengan prinsip Basmalah. Kita alpa menyebut asma-Nya kapan dan dimana pun.
Kita tercipta dari rongga-rongga kekuatan, tubuh kita adalah tubuh tabah dan wadah dari kesabaran dan keikhlasan, tubuh indah dan jiwa surgawi kita adalah lokus kebajikan dan kebaikan. Kita bukan makhluk lemah yang pasrah dan tak berdaya. Maka bangkitlah dari keterpurukan rasa.
Guncangan kehidupan menjadi penting agar kita menata kembali keporakporandaan diri, menata ulang dan sadar pada fitrah kemanusiaan kita. Sadar pada dimensi raga, jiwa, dan spirit kita. Sadar dari mana kita berasal, untuk apa diturunkan ke bumi dan perjalanan selanjutnya hanyalah menuju Dia.
Ramadan akhirnya usai, usai pula momen tazkiyatunnafs, berakhirnya pemberhalaan terhadap diri dan segala atribusinya, bangkitnya sebuah peradaban baru, kesadaran baru serta nilai kesucian yang baru. Akhirnya mari kita semai tumbuh suburnya virtues (kebajikan) dan semangat kemanusiaan. Allahul 'alim.[]
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.

