Dokter, utamanya, menjadi garda terdepan membendung virus korona agar tak merajalela di Indonesia. Sayang, senjata mereka kurang lengkap di awal perang melawan korona. Perlengkapan alat pelindung diri (APD) yang minim membuat tenaga medis berguguran. Hingga Selasa, 7 April 2020, tercatat 31 dokter wafat di tengah mewabahnya korona di Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bahkan sempat mengultimatum, jika dokter dan tenaga medis tetap tak bisa mengakses APD secara leluasa, mereka berencana mundur dari medan tempur. Virus korona teramat garang bagi mereka yang sehari-hari harus berjibaku dengan pasien terjangkit wabah ini.
Sekonyong-konyong muncul seorang dokter nyentrik bernama Tirta Mandira Hudhi. Gelarnya dokternya memang nyata karena dia adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM). Kerap gonta-ganti warna rambut, dr Tirta tergerak untuk membantu sesama rekannya. Tirta, pemuda kelahiran 1991 (28 tahun) ini sebenarnya sedang jeda sejenak dari profesinya sebagai dokter. Dia tengah asyik berkutat dengan bisnis pencucian dan penjualan sepatu. Tirta bahkan lebih dikenal sebagai ikon sepatu lokal karena kerap mengampanyekan brand-brand lokal. Tirta amat rajin mengunggah video ulasan sepatu lokal di saluran Youtube pribadinya.
Banyak korban jatuh
Namun, semakin banyaknya korban jatuh akibat korona membuat dia tergugah. Mulailah dia berteriak lantang di akun Instagram-nya soal nasib rekan dokternya. Dia pula yang tak henti memberikan edukasi kepada para 'pengikutnya' di media sosial untuk tak menganggap remeh serangan virus yang pertama kali menyerang warga Wuhan, Tiongkok, pada akhir 2019 itu.
Suara lantangnya lantas disambut sejumlah televisi swasta. Dia muncul di berbagai televisi nasional. Di setiap kemunculannya di layar kaca, suaranya sama, yakni tetap lantang menyerukan agar semua pihak bersatu melawan virus korona. Sekuat tenaga ia membantu dokter yang tengah compang-camping menahan persebaran covid-19 itu.
Dia turun sendiri ke sejumlah rumah sakit untuk menyalurkan APD. Bahkan, dia mengaku hanya tidur tiga jam saban hari karena terlampau sibuk hilir-mudik ke rumah sakit.
Alhasil, kesehatannya sempat drop. Dia bahkan sempat masuk kategori pasien dalam pengawasan (PDP) covid-19. Bronkitisnya kambuh. Si dokter kerempeng ini tetap saja bandel. Sambil berbaring di rumah sakit, dia tetap bersuara nyaring. Dia menyerukan koleganya agar tenaga medis tidak dibiarkan berjuang sendiri.
Anak muda terbukti peka
Anak muda Indonesia terbukti peka. Tirta tak dibiarkan berteriak sendiri. Sesama koleganya yang kerap berkutat di dunia persepatuan lokal ikut bergerak. Setidaknya itu terlihat dari gerakan yang dibuat akun @indosneakerteam_.
Akun ini menerima donasi berupa sepatu untuk kemudian dilelang. Uang dari hasil lelang seluruhnya didonasikan untuk membantu tenaga medis memberantas covid-19. Terpantau, banyak yang rela melepas sepatu koleksinya untuk gerakan ini.
Aji Handoko Purbo (@ajihandokopurbo), kreator di balik suksesnya sepatu lokal mereka Compass, juga tersengat dengan gerakan sosial dr Tirta. Berkolaborasi dengan Brian Notodihardjo (@bryantbrian), dia menciptakan sepatu eksklusif yang dinamai Servare Vitas. Penciptaan sepatu ini mereka dedikasikan untuk membantu mengatasi kesulitan akibat korona.
Melalui mekanisme lelang pula sepatu itu akhirnya terjual Rp55 juta pada 6 April 2020. Semua uang hasil lelang pun didonasikan kepada pejuang di garda terdepan, yakni para tenaga medis.
Tak berhenti di Aji, teriakan dr Tirta juga terdengar oleh kreator sepatu Brodo. Menggandeng salah satu marketplace terbesar di Indonesia, Jakcloth, Brodo menghadirkan 800 artikel sepatu yang sebagian keuntungannya disumbangkan untuk membantu mengatasi krisis akibat korona.
Hanya dalam tiga hari, sepatu yang dibuat terbatas itu ludes. Sebanyak Rp40 juta dari hasil jualan didonasikan untuk ikut membantu melawan wabah. Menariknya, semua dilakukan melalui transaksi daring.
Simbol perlawanan
Sebelum ramai soal korona, industri sepatu lokal Indonesia memang tengah naik daun. Melansir data Kementerian Perindustrian pada 2018, sepatu buatan anak negeri ini mampu terjual hingga 1,4 miliar pasang. Atau berkontribusi sebanyak 4,6 persen total produksi sepatu dunia.
Indonesia bahkan menjadi produsen sepatu keempat terbesar di dunia setelah Tiongkok, India, dan Vietnam. Tercatat ada 18.678 unit usaha industri sepatu di Indonesia. Dan ini tersebar merata di Jawa Timur, Jawa Barat, hingga DKI Jakarta, yang kini tengah berjuang melawan korona.
Kedatangan korona ternyata tak membuat industri sepatu terpukul. Setidaknya ini coba diperlihatkan oleh dua gerakan yang dilakukan Compass dan Brodo-Jakcloth. Di tengah pandemi, mereka masih bisa berkolaborasi. Berbisnis sambil berdonasi.
Dan itu tak terlepas dari seorang Tirta. Dia ibarat karakter fiksi Katniss Everdeen di novel Hunger Game karangan Suzanne Collins. Saking ikoniknya, Gary Ross, mengadaptasi novel ini menjadi film dengan judul yang sama pada 2012. Jika Katniss identik dengan simbol pin berbentuk burung Mockingjay, Tirta lekat dengan simbol sepatu.
Tirta dan sepatunya mampu menggerakkan anak muda untuk bersama melawan korona. Dokter kerempeng itu juga mampu melahirkan ikon-ikon lain layaknya Katniss yang mampu menggerakkan warga distrik untuk melawan kekuasaan Capitol.
Sepatu yang menjadi trademark Tirta juga pas dengan kampanye pemerintah soal menjaga jarak atau social/physical distancing. Semakin berjarak, sepasang sepatu semakin masif bergerak. Namun, ketika sepatu itu bersanding di rak, tanpa jarak, tak mungkin ada gerakan.
Makanya, gerakan jaga jarak harus tetap digemakan selama wabah covid-19 ini melanda. Dengan begitu, kita menjadi bagian gerakan besar melawan korona.
Melalui dr Tirta kita bisa berkaca bahwa korona bisa dilawan jika kita berjuang bersama. Walaupun, perjuangan itu sebatas berdiam diri di rumah.[]
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.
