Ilustrasi foto-IG AE Priyono
Ilustrasi foto-IG AE Priyono (Hamid Basyaib)

Hamid Basyaib

Mantan wartawan dan penulis sejumlah buku

Epitaf Sendu untuk AE Priyono (Bagian 1)

Hamid Basyaib • 13 April 2020 07:00
DI KELAS 2 SMA saya membaca dua tulisan AE Priyono di majalah Scientiae terbitan ITB, salah satu judulnya: Nasionalisme Sehari-hari. Bukan saja judul itu membuat saya penasaran, isinya pun hal yang sama sekali baru dan tidak pernah saya pikirkan sebelumnya (meski saya lupa pokok-pokok idenya).
 
Priyono waktu itu masih di tahun pertama kuliah di Fakultas Hukum UII, sehingga saya melacaknya melalui senior teman kos yang kuliah di Fakultas Ekonomi universitas yang sama. Kata teman itu, AEP dikenal sebagai mahasiswa yang menonjol, meski dia tak kenal pribadi.
 
Setelah saya sendiri masuk FH-UII dua tahun kemudian, saya bukan hanya mengenal AEP, tapi menjadi sahabat kentalnya. Ia menjadi pemimpin redaksi majalah kampus Muhibbah, dan saya dimintanya menjadi anggota dewan redaksi, setelah diajak masuk menjadi staf redaksi oleh pemimpin umum terpilih, Moh Mahfud MD.
 
Semangat egaliter intelektual Priyono sangat mengesankan. Ketika saya menolak posisi di dewan redaksi itu, dengan alasan saya baru tiga bulan menjadi mahasiswa -- sementara dewan itu lazimnya diisi oleh para senior -- Priyono dalam rapat resmi berkata tegas: "Kita di sini tidak peduli dengan soal senioritas. Ukuran kita hanya satu: kemampuan!" Belakangan saya baru mengerti bahwa yang dia gariskan itu disebut sistem meritokrasi. Dan sejak itu AEP diam-diam saya jadikan mentor informal; dia sendiri konsisten dalam hal ini: tidak pernah berperan atau merasa diri menjadi mentor atau berpretensi mengantungi kredensial superioritas intelektual, lalu memperlakukan juniornya sebagai anak buah atau "binaan".
 
Padahal seandainya ia berpretensi demikian (sesuatu yang lumrah dalam kehidupan aktivis kampus), ia pantas. Dan memang tak sedikit mahasiswa yang ingin pintar yang berusaha menjadikannya sebagai pembimbing.
 
Ketua Komisariat HMI
 
Apalagi Priyono sendiri pernah menjadi ketua komisariat HMI, sebuah lembaga pengkaderan ekstra universiter. Ia seolah menganggap mentor-mentoran dan pretensi senioritas itu bagian dari feodalisme yang sangat tidak disukainya.
 
Dengan sikapnya itu, saya, yang berasal dari keluarga yang egaliter dan demokratis, merasa nyaman bergaul dengan dia. Beda angkatan kuliah 3 tahun dan usia hampir 4 tahun, tak membuat jarak emosional di antara kami.

Dan kami sama-sama malas belajar ilmu hukum. Ilmu-ilmu sosial, yang di awal 1980-an itu sedang meriah, jauh lebih memikat. Tentu saja saya dengan tertatih-tatih ikut membaca kitab suci ilmu-ilmu sosial Indonesia, jurnal Prisma, terbitan LP3ES.
 
Dalam keadaan konstan kekurangan uang, kami tetap berusaha memburu buku-buku, terutama di perpustakaan Gereja Katolik Kotabaru, tempat ajaib yang menyimpan puluhan ribu buku dalam belasan bahasa (tapi kami hanya berkepentingan dengan yang berbahasa Inggris).
 
Perpustakaan itu menyediakan jasa fotokopi berikut penjilidannya, yang mampu membuat fotokopian sangat mirip dengan buku aslinya. Ini sangat mengagumkan dan menyenangkan. Maka, misalnya, kami juga punya "buku" Orientalism karya Edward Said yang saat itu menghebohkan dunia akademis Amerika karena pendekatan Said yang radikal membongkar agenda-agenda minor Barat terhadap budaya Timur melalui karya sastra, film, studi antropologi, dll.
 
Tidak ada pula tempat di Jogja selain perpustaan gereja itu yang menyediakan jurnal-jurnal seperti The Third World Quaterly, bahkan Afkar Inquiry, sebuah majalah hasil kolaborasi intelektual-intelektual Muslim seperti Ziauddin Sardar, Meryl Wyn Davies, Gulzar Haider, dan para akademisi Muslim yang mengajar di Kanada, Amerika, dll.
 
Kami juga selalu memburu South, majalah bulanan terbitan publisher Pakistan Humayun Gauhar dan ekonom-ekonom "alternatif" seperti Kurshid Ahmad, dan Altaf Gauhar. Tentu saja kami juga menggandrungi Arabia, majalah bulanan yang konon dibiayai pemerintah Arab Saudi tapi punya kebebasan penuh dalam editorialnya. Belakangan terjadi konflik di antara mereka, dan Saudi menyetop pembiayaannya.
 
Peminat Penerbitan
 
Sebagai mahasiswa yang meminati penerbitan, kami heran dan penasaran bagaimana majalah Afkar itu dikelola, dengan para editor yang tersebar di berbagai negara.
 
Afkar mengandung semangat bahwa ilmuwan sosial Islam mau dan mampu ikut bicara di forum akademis internasional dengan standar akademis setara. Meskipun demikian, mereka skeptis dengan proyek Islamisasi sains ala Ismail Al Faruqi, akademisi Palestina yang mengajar di Amerika.
 
Al Faruqi meninggal karena ditikam berkali-kali dengan pisau besar oleh sejumlah orang yang menerobos masuk ke rumahnya di tengah malam. Adapun Lamya Faruqi, isterinya yang menjadi profesor kebudayaan Islam, juga tertikam beberapa kali, tapi selamat. (Seingat saya kasus 1986 itu tetap gelap sampai sekarang, meski kecurigaan mengarah pada kelompok radikal Jewish Defence League).

Majalah Muhibbah yang sedang dengan antusias kami geluti siang-malam, dibredel Departemen Penerangan pada 9 Desember 1982. Ironis: itu sehari sebelum Hari Hak Azasi Manusia Internasional. Surat pembredelan ditembuskan ke 26 instansi -- seolah untuk memastikan bahwa semua celah bagi kami telah ditutup rapat. Sebab, gerak kami pasti akan diawasi oleh 26 instansi itu.


Setelah serangkaian perundingan yang alot, majalah bisa terbit lagi, cukup dengan SK Rektor, tapi harus ganti nama. Terbitlah Himmah, dengan pemimpin umum tetap Mahfud MD dan saya ditunjuk menjadi pemimpin redaksi menggantikan AE Priyono.
 
Tak ada lagi wesel
 
Tak ada lagi kiriman wesel dari Jenderal A.H Nasution, Ali Sadikin atau mantan Menteri Pertanian Thoyib Hadiwijaya. Sebelumnya, merekalah antara lain yang konstan menyemangati kami dengan mengirim dana bulanan, meskipun anggaran kampus mencukupi untuk mencetak 10.000 eksemplar majalah tiap bulan (dan kami masih dapat tambahan dari penjualan bebas di kios-kios).
 
Priyono menikah sebelum lulus kuliah dan harus menghidupi keluarganya dengan cara-cara yang tidak bisa jauh dari minat utama dan kemampuan terbaiknya. Ia menjadi koresponden majalah ilmiah populer Akutahu serta menerjemahkan buku-buku keislaman dan ilmu sosial.
 
Ia juga menjadi koresponden majalah Kiblat dan memuat terjemahan saya atas ceramah Fazlur Rahman (idola kami waktu itu) di IAIN Sunan Kalijaga, dengan moderator eks Menteri Agama Mukti Ali. Tak lama kemudian kami sama-sama "diimpor" ke Jakarta untuk bekerja di majalah Islam yang ingin melakukan rebranding itu. Tapi kami hanya sempat menangani satu edisi, karena konflik ide yang tak terdamaikan dengan pengurus lama serta tekanan eksternal, dan kami harus kembali ke Jogja.
 
Ia juga meyakinkan saya bahwa saya pasti mampu menerjemahkan buku-buku Inggris dengan baik, dan penerbit penampungnya sudah ada, terutama Shalahuddin Press (milik Mas Ahmad Fanani) dan P2M (Amrullah Ahmad), keduanya berpusat di Jogja.
 
"Dan kamu bisa dapat honor yang lumayan dari menerjemahkan buku-buku itu," kata Priyono, yang dengan tepat memahami faktor pendorong terkuat untuk memotivasi saya. Sebab, saya pun sering pula menggunakan alat itu untuk mendorongnya. –Bersambung []
 
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Obituari

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif