Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. (MI/Ebet)
Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. (MI/Ebet) (Media Indonesia)

Naik Kelas

Media Indonesia • 12 Januari 2023 05:42
Membaca hasil survei tentang calon presiden pilihan publik yang secara bertubi-tubi dirilis para lembaga survei, setidaknya dalam periode setahun belakangan, membuahkan sebuah konklusi awal yang menarik. Tentang semakin banyaknya gubernur yang punya potensi sekaligus peluang untuk 'naik kelas' menjadi presiden.
 
Figur-figur politik berlatar belakang kepala daerah hampir selalu mendominasi survei elektabilitas calon presiden (capres) untuk Pemilu 2024 dari lembaga mana pun. Nama Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta 2017-2022) dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) selalu berada di tiga besar mengepung Prabowo Subianto yang tak punya background memimpin daerah.
 
Di bawah Anies dan Ganjar, sering muncul pula nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Keduanya cukup rajin mengisi posisi 10 besar dalam survei calon presiden. Kadang-kadang melompat pula ke lima besar ketika ada momentum yang mengangkat nama dan elektabilitas mereka.
 
Kita ambil contoh saja hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia di awal tahun ini. Survei yang dirilis pekan lalu, Rabu (4/1), itu lagi-lagi mengunggulkan sosok kepala daerah untuk simulasi tiga nama capres. Ganjar di urutan pertama dengan elektabilitas 35,8%, diikuti Anies dengan 28,3%, dan Prabowo 26,7%. Survei dari lembaga lain sepanjang 2022 juga menawarkan hasil yang mirip-mirip. Apakah kemudian hasil survei-survei itu akan menjadi realitas pada 2024, belum ada yang berani memperkirakan. Hasil survei hari ini ialah realitas hari ini. Itu sebabnya dalam pertanyaan kepada responden, selalu diawali dengan kalimat, ‘jika pilpres digelar saat ini’.
 
Akan tetapi, tren tersebut setidaknya kian menguatkan probabilitas bakal adanya kepala daerah yang naik kelas pada Pilpres 2024. Kabar itu, bagi yang mengambil perspektif bahwa pengalaman memimpin wilayah adalah variabel penting untuk membangun kemampuan seseorang memimpin negara, tentu melegakan.
 
Walaupun skala dan tingkat kompleksitas memimpin daerah dengan memimpin Republik sudah pasti berbeda, orang yang telah jatuh-bangun membangun daerah tentu punya kelebihan dalam hal penguasaan masalah secara detail. Kita tak bisa mungkiri, sebagian masalah negara ialah masalah di daerah atau soal koordinasi antara pusat dan daerah.
 
Karena itu, minimal, presiden yang punya latar belakang kepala daerah akan lebih mudah dalam proses adaptasi permasalahan meskipun hal itu juga bukan jaminan mereka bakal segampang itu menemukan sekaligus mengeksekusi solusi dari setiap persoalan.
 
Selama ini, tradisi naik kelas dalam politik kepresidenan di Indonesia memang belum kuat. Bahkan, mungkin belum bisa disebut tradisi karena dari tujuh presiden yang pernah kita punya, baru Joko Widodo yang karier kepemimpinan teritorialnya berjenjang. Dari wali kota, gubernur, hingga menjadi presiden. Presiden-presiden sebelumnya tak melewati proses itu.
 
Barangkali Amerika Serikat (AS) dan sedikit negara di belahan benua Amerika, seperti Meksiko dan Argentina, bisa menjadi patron tentang 'kenaikan kelas' pemimpin tersebut. Di AS, misalnya, dari 46 presiden yang mereka punyai sampai saat ini, sedikitnya 17 presiden berasal dari latar belakang pemimpin (gubernur) negara bagian.
 
Kebanyakan dari mereka punya prestasi mentereng saat menjadi gubernur dan kemudian melanjutkan capaian positif itu ketika naik pangkat jadi presiden. Sekadar menyebut beberapa nama beken di antara mereka, mulai Thomas Jefferson, Franklin D Roosevelt, Jimmy Carter, Ronald Reagan, Bill Clinton, hingga George W Bush. Siapa yang tak kenal? Tidak inginkah Indonesia meniru mereka?
 
Di Indonesia, satu-satunya presiden yang muncul dari latar belakang kepala daerah, Presiden Jokowi, sesungguhnya pernah memotivasi para kepala daerah agar naik kelas menjadi presiden. Momen itu terjadi hampir lima tahun lalu, tepatnya pada 28 Maret 2018, pada saat rapat kerja pemerintah bersama bupati dan wali kota se-Indonesia.
 
Ketika itu, Jokowi mengatakan menjadi pemimpin tidak boleh terjebak rutinitas, monoton, dan tanpa inovasi. "Itu penting untuk Bapak, Ibu semuanya yang pengin dikenang di daerah masing-masing atau naik ke peringkat yang lebih atas. Bupati atau wali kota jadi gubernur, gubernur jadi presiden," kata Presiden.
 
Karena ucapannya disambut dengan tepuk tangan dan tertawa, Jokowi pun menyahut, "Lho, kenapa tertawa? Ada contohnya kok." Tawa dan tepuk tangan para kepala daerah malah semakin kencang karena mereka tahu contoh satu-satunya itu sedang ada di hadapan mereka.
 
Boleh jadi, di tengah banyak hadirin yang waktu itu tak menganggap serius omongan Pak Presiden, ada segelintir kepala daerah yang justru terlecut oleh motivasinya. Bukan mustahil pula omongan sang motivator dadakan itulah yang dijadikan pijakan oleh Anies, Ganjar, Ridwan, Khofifah, dan beberapa yang lain untuk meningkatkan kinerja mereka demi naik ke kelas yang lebih tinggi.
 
Kini, kita hanya bisa menanti, siapa di antara gubernur dan mantan gubernur itu yang akan mendapatkan tiket maju sebagai calon presiden di Pilpres 2024. Kalaupun kita berandai-andai, empat nama tadi semuanya menggenggam tiket pilpres, apakah publik akan memilih satu di antara mereka berbasis kinerja ketika menjadi kepala daerah atau tetap mengandalkan sentimen kesukaan subjektif karena faktor paras, gender, suku, ras, agama, dan lain-lain?
 
Kalau kita masih pilih yang kedua, ya percuma saja mereka naik kelas. (Ahmad Punto)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Pemilu Pemilu 2024 Pilpres capres

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif