Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id (Syah Sabur)

Syah Sabur

Jurnalis Senior Medcom.id

Konser Musik, Konser Kematian

Syah Sabur • 19 September 2020 09:45
KEPUTUSAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengizinkan konser musik selama kampanye pemilihan kepala daerah (26 September - 5 Desember) terus menuai polemik. Betapa tidak, keputusan tersebut muncul di tengah masih tingginya angka covid-19 di Indonesia. Belakangan, angka kasus positif covid-19 rata-rata melebihi 3.000, bahkan beberapa kali hampir menyentuh angka 4.000.
 
Sejumlah pihak tegas menolak ide tersebut. Sebut saja mulai dari lembaga pemantau demokrasi (Perludem), Kemenkes, Kemendagri, IDI, hingga DPR. Tapi KPU bergeming. Alasannya, KPU tak bisa lain kecuali berpedoman pada Undang-Undang Pilkada yang mengizinkan adanya keramaian seperti konser musik selama pilkada.
 
Juru Bicara Satuan Tugas PenangananCovid-19Wiku Adisasmito mengingatkan, dari 309 kabupaten/kota yang mengikuti Pilkada Serentak 2020, ada 45 daerah yang masukzona merahatau wilayah dengan risiko penularan tinggi.
 
Protes keras juga disampaikan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto. Yurianto menegaskan sebaiknya konser musik saat kampanye Pilkada 2020 tidak dilakukan. Menurutnya, Satgas Penanganan Covid-19 di daerah penyelenggara pilkada harus ikut ambil bagian dalam melarang konser musik tersebut. "Tidak ada toleransi, yang pasti tidak boleh," ujarnya kepada media, Kamis (17/9/2020).

Seluruh dunia saat ini meniadakan kegiatan konser musik yang memicu kerumunan di masa pandemi covid-19

Bahkan, Ketua Satgas Ikatan Dokter Indonesia atau IDI, Zubairi Djoerban, tegas meminta Pilkada Serentak 2020 dibatalkan jika tidak menerapkan protokol kesehatan. Menurutnya, konser musik selama masa kampanye niscaya akan mengundang kerumunan massa.
 
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiarmengkritisi soal diperbolehkannyakonser musiksaat kampanye pilkada. Bahtiar mengingatkan seluruh dunia saat ini meniadakan kegiatan konser musik yang memicu kerumunan di masa pandemi covid-19.
 
"Seluruh dunia konser musik sedang ditutup kan? Jadi aneh juga kalo kita di Indonesia ini justru masih mengizinkan (dipilkada)," ujar Bahtiar dalam konferensi pers daring bersama Bawaslu, Kamis (17/9/2020).

Potensial jadi klaster

Komentar keras juga muncul dari Komisi II DPRyang menyebut konser musik di masa kampanye sebagai hal konyol. Wakil Ketua Komisi IIDPRYaqut Cholil Qoumas kepada wartawan menyatakan konser musik untuk kampanye di masapandemi COVID-19berpotensi menimbulkan klaster baru.
 
Politikus PKB itu pun merasa aneh soal aturan KPU yang membolehkan konser musik maksimal dihadiri 100 orang. "Pasti berpotensi (jadi klaster). Makanya kalau tidak bisa menjamin bebas kerumunan, sekalian saja konser ini dilarang," tegas Yaqut.
 
Konser musik di masa pilkada juga seolah mengkhianati tekad para musisi Indonesia selama ini. Hampir semua musisi sepakat untuk meniadakan konser selama pandemi. Padahal, tanpa konser para musisi kehilangan sumber nafkah.
 
Kalaupun menggelar konser, para musisi memilih konser secara virtual. Itu pun umumnya berupa konser amal.
 
Keberatan berbagai pihak terhadap konser musik selama pilkada sangat masuk akal mengingat masih tingginya angka covid-19 di Indonesia. Lihat saja fakta-fakta berikut ini. Mortality rate akibat covid-19 di Indonesia masih di atas angka WHO (4,68% vs 3,79%). Positivity rate juga kondisinya tidak jauh berbeda, melebih angka badan kesehatan dunia tersebut (14% vs 5%).

Konser musik di masa pilkada juga seolah mengkhianati tekad para musisi Indonesia selama ini

Selain itu, ada 60 peserta pilkada atau bakal calon kepala daerah yang terpapar covid-19 dan bisa jadi angkanya akan terus bertambah. Belum lagi pelanggaran saat pendaftaran pilkada.
Badan Pengawas Pemilu mendapati 243 pelanggaran protokol kesehatan, yakni arak-arakan atau kegiatan yang mengumpulkan banyak orang. Sejauh ini, tidak ada sanksi tegas untuk para pelanggar aturan tersebut.
 
Kalau saat pendaftaran saja angka pelanggaran sudah sebanyak itu, apalagi di masa kampanye. Jika para calon kepala daerah tidak bisa mendisiplinkan diri mereka sendiri, bagaimana mereka bisa mendisiplinkan massa dalam konser musik?
 
Padahal, di masa kampanye, aura persaingan benar-benar akan makin terlihat. Selama ini ada kecenderungan, di tengah persaingan yang ketat antarkandidat, mereka tak sungkan melanggar aturan demi meraih suara sebanyak mungkin.
 
Selain itu, Amnesty Internasional Indonesia mengungkapkan fakta yang membuat merinding. Sebanyak 181 tenaga medis meninggal dunia akibat covid-19! Sulit membayangkan jumlah pasien covid-19 terus bertambah di tengah banyaknya tenaga medis yang jadi korban.
 
Karena itu, Anggota Dewan Pembina Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) Titi Anggraini menyatakan, meskipun KPU membatasi peserta dalam kegiatan konser musik, namun hal ini tidak berpengaruh. Sebab, konser yang digelar nantinya tetap dapat menarik minat pihak lain.
 
Dengan melihat kemaslahatan yang lebih besar, Titi berpendapat, sebaiknya konser musik sepenuhnya dilarang. Sebab, kebisingan konser musik bisa menjadi penarik minat masyarakat di luar arena untuk ikut menonton. Apalagi, apabila konser musik melibatkan artis atau penyanyi populer yang bisa memikat banyak orang untuk berkumpul.

Berpatokan pada undang-undang

Menurut Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, semua aturan yang memicu massa berkumpul bisa ada di PKPU karena memang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
 
Pertanyaannya, kalaupun KPU membatasi jumlah penonton hanya 100 orang, bagaimana dengan para teknisi yang biasa mendampingi musisi? Bagaimana dengan kru panggung, petugas keamanan, tim sukses kandidat kepala daerah, tenaga medis, dan para jurnalis?
 
Kalau dihitung semua, bisa jadi total jumlahnya jadi dua kali lipat dari batas maksimal yang diatur KPU. Padahal, ketika konser sudah dimulai, hal itu otomatis akan mengundang lebih banyak warga yang rata-rata haus hiburan.
 
Yang jelas, Pasal 65 UU Pilkada sebenarnya tidak menyebut adanya konser musik. Kampanye dapat dilaksanakan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka dan dialog;
c. debat publik/debat terbuka antarcalon;
d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum;
e. pemasangan alat peraga;
f. iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
KPU memasukkan konser musik dengan berpedoman pada huruf g, tentang kegiatan lain yang tidak melanggar aturan kampanye. Memang, di masa normal, konser musik tidak dilarang. Tapi, di masa pandemi, kegiatan apa pun yang menghimpun massa, haram hukumnya.
 
Memang hampir semua peserta pilkada ingin agar mereka bisa menghadirkan sebanyak mungkin orang saat kampanye. Tujuannya untuk menjelaskan visi-misi mereka.
 
Namun, di saat pandemi yang sangat mengkhawatirkan ini, hanya ada dua pilihan; demokrasi yang sempurna atau kesehatan, yang–jika tidak ditangani secara serius--bisa berujung kematian. Karena itu, KPU pun bisa memilih sarana lain agar para kandidat kepala daerah bisa menjangkau calon pemilihnya. Untuk daerah perkotaan atau yang bisa terjangkau jaringan internet, kampanye bisa digelar secara daring.

Pilkada tidak ada artinya jika harus mengorbankan, bahkan hanya satu nyawa pun

Tapi, mereka juga bisa memanfaatkan media cetak, media online serta televisi dan radio, baik nasional maupun lokal atau komunitas. Mereka juga dapat memaksimalkan baliho, spanduk, poster, dan beragam alat peraga kampanye lainnya.
 
Apa boleh buat, pandemi ini memang menyebabkan adanya keterbatasan dalam penyelenggaraan pilkada. Tapi, selama keterbatasan itu berlaku untuk semua peserta, hal itu sebenarnya tidak perlu dijadikan persoalan.
 
Pilihan terakhir, kalau KPU khawatir dianggap melanggar aturan (baca: UU Pilkada), masih ada upaya lain yang bisa dilakukan: meminta Presiden mengeluarkan perppu agar semua aturan Pilkada sesuai dengan kondisi saat ini lengkap dengan sanksinya. Tentu saja itu jauh lebih bijak ketimbang KPU memaksakan diri untuk menggelar konser musik.
 
Sebab, jika tidak hati-hati, konser musik bisa berubah jadi konser duka, konser kematian yang akan disesali semua pihak. Pilkada tidak ada artinya jika harus mengorbankan, bahkan hanya satu nyawa pun.[]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Virus Korona Pemilu Serentak 2020 covid-19

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif