Ahmad Punto, Dewan Redaksi Media Group. Foto: MI/Ebet.
Ahmad Punto, Dewan Redaksi Media Group. Foto: MI/Ebet. (Media Indonesia.com)

Hurry Sickness

Media Indonesia.com • 05 Januari 2023 05:23
BARANGKALI tidak banyak yang tahu, di jagat kedokteran dikenal sebuah istilah hurry sickness. Secara definisi, hurry sickness ialah kondisi gangguan psikologis ketika seseorang selalu merasa tergesa-gesa atau tidak sabar ingin segera menyelesaikan setiap hal yang tengah dilakukannya.
 
Salah satu ciri orang yang mengalami hurry sickness ialah gemar terburu-buru. Seolah waktu terus memburunya, seakan ruang selalu mendesaknya untuk cepat-cepat merampungkan urusan. Tidak peduli dengan hasil kerjanya, baik atau buruk, maksimal atau minimal, yang penting cepat selesai.
 
Secara medis, bila tidak diatasi segera serta berlangsung secara kronis dan terus-menerus, hurry sickness dapat menimbulkan sejumlah efek buruk yang berdampak pada kesehatan fisik ataupun mental. Kalau sudah begitu, tentu saja dampaknya akan meluas, menjalar ke orang-orang dan lingkungan sekitar.
 
Entah kenapa, gejala hurry sickness itu sekonyong-konyong mengingatkan saya pada tingkah laku para elite di negeri ini, setidaknya dalam kurun dua-tiga tahun belakangan. Gejala mirip. Hobinya buru-buru. Bahkan, untuk hal-hal yang semestinya memerlukan proses perenungan, kajian, diskusi, dan perdebatan yang mendalam, mereka tetap ingin selesai cepat-cepat. Hasil tidak menjadi konsiderans. Kisah tentang keterburu-buruan elite itu terbaca paling mencolok pada proses pembuatan dan revisi sejumlah undang-undang. Pemerintah dan mayoritas DPR sama saja, setali tiga uang, penginnya cepat-cepat. Sayangnya, demi yang cepat-cepat itu, partisipasi publik dikesampingkan, suara akademisi tak cukup diakomodasi, kritikan aktivis apalagi.
 
Seolah ada kepentingan terselubung yang terus memburu mereka, seakan kekuatan besar selalu mendesak mereka untuk cepat-cepat merampungkan urusan. Belakangan terbukti produk regulasi yang dihasilkan dari proses yang tergesa-gesa itu pada akhirnya menimbulkan banyak soal. Bukan sekadar masalah pada tataran eksekusi, bahkan pada sisi proseduralnya pun sudah bermasalah.
 
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ialah contoh paling mutakhir. Isu itu kini sedang hangat-hangatnya menjadi perbincangan publik setelah di dua hari terakhir 2022, di luar dugaan banyak orang, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
 
Dalam versi pemerintah, perppu tersebut merupakan jawaban atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK), setahun lalu, yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun, namanya juga perppu, jangan harap ada transparansi dalam penyusunannya. Spirit buru-buru bahkan tampak lebih solid dalam penerbitan perppu tersebut.
 
Lagi-lagi kita cuma bisa berandai-andai. Kalau saja waktu itu dalam pembentukan UU Cipta Kerja pemerintah dan DPR tak dihinggapi sindrom hurry sickness, kalau saja prosesnya dilakukan secara benar, baik secara prosedural maupun pembahasan substansi, barangkali tidak akan ada putusan MK. Artinya, gaduh soal Perppu Cipta Kerja hari-hari ini juga tidak akan pernah ada.
 
Cerita tentang UU No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) juga tidak kalah menggelikan. Regulasi itu sejatinya masih tergolong baru. UU IKN diterbitkan Februari 2022, juga melalui proses yang jauh dari kata ideal. Serbacepat demi mengejar target 2024 peresmian IKN Nusantara.
 
Namun, belum sampai setahun umur beleid itu, pemerintah sudah menyiapkan revisinya. Revisi usulan pemerintah itu kabarnya telah disetujui Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk masuk ke Prolegnas prioritas tahun depan. Kalau kata orang Jawa, opo tumon? Sosialisasi undang-undangnya saja mungkin belum kelar, apalagi eksekusinya, lha kok sudah mau direvisi.
 
Sepertinya memang benar yang dikatakan orang bijak, hasil tidak akan mengkhianati proses. Kalau prosesnya proper, produknya pun pasti bagus. Sebaliknya, jika prosesnya saja sudah serampangan, tidak taat asas, menganggap angin lalu suara-suara yang semestinya didengarkan, dan lain-lain, ya tak perlu kaget kalau hasilnya mengecewakan.
 
Ada juga kisah tentang revisi UU KPK pada 2019, yang pengesahannya diduga sebagian kalangan dikebut dan hasilnya membuat lembaga antirasuah itu layaknya macan tanpa gigi alias ompong. Tampangnya garang, tapi dia tak bisa menggigit mangsa. Ini kemenangan koruptor, kata para aktivis antikorupsi, saat itu.
 
Semua uraian di atas sesungguhnya cerita untuk mengingatkan tentang buruknya sikap keterburu-buruan. Hurry sickness yang disinggung di awal tulisan hanyalah analogi yang sejujurnya juga tidak bisa menggambarkan 'gangguan mental' apa yang saat ini dialami sebagian elite secara kolektif.
 
Hanya gejalanya yang mirip. Terburu-buru, serbacepat, dan ingin cepat pula selesai. Itu saja. Selebihnya, kita tahu, orang dengan gejala hurry sickness mungkin relatif lebih mudah disembuhkan. Sebaliknya, menyembuhkan perilaku elite yang hobi memproduksi regulasi secara tergesa-gesa dan diam-diam, bagaimana caranya?
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar UU Cipta Kerja Ibu Kota Baru Ibu Kota Negara (IKN) IKN Nusantara Perppu Ciptaker

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif