SEBAGUS apa pun peraturan dan kebijakan, ia akan percuma jika tak dilaksanakan dengan seluruh daya dan upaya. Terlebih jika pada peraturan dan kebijakan yang dibuat itu banyak celah dan kelemahan dalam mengatasi sebuah persoalan serta dilaksanakan asal-asalan.
Itulah penyakit lama kita dalam hidup bernegara. Sangat sering peraturan hanya gagah di atas kertas, tetapi loyo dalam implementasi di lapangan. Amat kerap kebijakan terlihat hebat, tetapi bak macan ompong saat diberlakukan.
Celakanya lagi, penyakit itu berulang dan terus berulang. Ia tak pandang situasi, apakah negeri ini sedang bugar atau sebaliknya tengah sakit parah seperti sekarang. Di saat kita babak belur dihajar pandemi covid-19, peraturan dan kebijakan yang diracik negara untuk mengatasinya tak juga menunjukkan khasiat.
Kebijakan terkini yang seakan percuma ialah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah di Jawa dan Bali. Kebijakan ini diterapkan mulai 11 Januari hingga 25 Januari, kemudian diperpanjang sampai 8 Februari nanti. Perpanjangan dilakukan lantaran dampak yang diharapkan jauh dari kenyataan.
PPKM memang gagal memberikan hasil maksimal. Bahkan, Presiden Joko Widodo terang-terangan menyebut PPKM tidak efektif dalam membendung penularan covid-19.
Kasus positif korona tak lantas berkurang dengan adanya PPKM. Penambahan terus saja terjadi secara signifikan setiap hari seakan tidak ada pengetatan kegiatan.
PPKM terbukti gagal membatasi mobilitas masyarakat sebagai salah satu kunci untuk membendung penularan covid-19. Presiden Jokowi pun tanpa ragu menyatakan bahwa mobilitas masih tinggi sehingga tidak aneh jika penularan covid-19 juga tetap tinggi. Penyebabnya, apa lagi kalau bukan buruknya implementasi di lapangan.
Di satu sisi, kedisiplinan masyarakat untuk mematuhi ketentuan yang diatur PPKM rendah. Kendati pandemi kian menjadi, banyak di antara mereka yang justru semakin sesuka hati. Jauh berbeda ketimbang di bulan-bulan awal wabah korona melanda, kerumunan massa kini tak lagi menjadi pemandangan langka. Mereka seolah lupa bahwa situasi masih, bahkan kian berbahaya.
Di sisi lain, aparat terkait tidak tegas dan tidak konsisten menegakkan aturan di lapangan. Jauh berbeda ketimbang di bulan-bulan awal pandemi, operasi penertiban jarang diperlihatkan saat ini. Mereka seolah lupa bahwa membiarkan pelanggaran terhadap protokol kesehatan akan semakin dalam membenamkan kita dalam pusaran bencana.
Pada konteks itulah kita sepakat dengan Presiden bahwa implementasi PPKM secepatnya perlu dievaluasi. Bahkan, tak hanya soal implementasi di lapangan, pemerintah mesti secepatnya mengevaluasi efektivitas PPKM sebagai kebijakan.
Sebagai senjata andalan untuk membendung penyebaran korona, PPKM sebenarnya kurang andal. Dalam situasi darurat ketika penularan teramat luas dan masif, PPKM justru lebih longgar daripada pembatasan sosial berskala besar atau PSBB beberapa bulan silam.
PPKM tak lebih dari PSBB yang dimodifikasi dengan banyak toleransi. Padahal, ketika perkembangan kian mengkhawatirkan, pemerintah seharusnya lebih ketat melakukan pembatasan kegiatan.
Selain perlunya evaluasi PPKM, kita mendukung perintah Presiden kepada para menteri koordinator untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya epidemiolog guna mendesain formula yang lebih ampuh untuk melawan korona. Pandemi adalah masalah kesehatan dan saatnya kita percayakan kepada para ahli kesehatan untuk ikut mengatasinya.
Sudah terlalu banyak kita membuang waktu. Sudah terlalu sering kita menyia-nyiakan momentum. Kita butuh, sangat butuh, resep kebijakan yang benar-benar mendekati sempurna untuk melawan korona, semacam karantina yang diimplementasikan secara paripurna pula.[]
*Editorial Media Indonesia, Selasa, 2 Februari 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di
