Pada awal pekan ini, selama dua hari, hampir semua fokus publik tertuju ke Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan, kediaman Prabowo yang menjadi tempat pemanggilan para calon pembantu presiden terpilih itu. Maklum, tak sampai seminggu lagi kabinet sudah harus terbentuk jika memang Prabowo mau bergerak cepat seusai dilantik pada 20 Oktober 2024.
Jadi, setelah beres pelantikan, pada hari yang sama atau sehari setelahnya, susunan kabinet berikut nama-nama menteri dan wakil menterinya bisa diumumkan. Pada hari itu pula mereka bisa langsung bekerja. Republik ini sedang tidak baik-baik saja, tidak ada guna berlama-lama, pemerintah memang semestinya segera bekerja.
Total ada 108 orang yang dipanggil presiden terpilih ke Kertanegara selama dua hari itu. Dua hari berikutnya, mereka dibawa ke Hambalang, Bogor, untuk mengikuti pembekalan. Pertanyaannya, apakah semua yang dipanggil dan ikut pembekalan itu bakal masuk kabinet pemerintahan Prabowo? Entahlah, sejauh ini hanya Prabowo dan orang-orang terdekatnya yang tahu. Publik tinggal tunggu saja pengumuman resminya, siapa di antara orang-orang itu yang bakal didapuk menjadi menteri, wakil menteri, pimpinan badan, atau sekadar diminta membantu tanpa jabatan formal alias tak jadi apa-apa. Semua masih mungkin terjadi, bukankah pada akhirnya keputusan ada di tangan Prabowo sebagai pemegang hak prerogatif?
Baca juga:Menteri Jajaran Kabinet Prabowo-Gibran Mesti Punya Integritas dan Kualitas |
Banyak hal menarik dari proses serta profil sosok-sosok yang mengikuti 'audisi kabinet' itu. Salah satu yang cukup mendapat sorotan ialah dominasi wajah-wajah lama yang sudah teramat familier di mata publik. Wajah lama itu bukan hanya mereka yang menjabat menteri di era pemerintahan sekarang, melainkan juga raut-raut kawakan di jagat politik nasional. Orang sering mengistilahkannya dengan 4L, lu lagi lu lagi.
Di antara wajah-wajah lawas itu, rasa Jokowi harus diakui masih cukup kental. Sedikitnya ada 16 menteri di kabinet Presiden Joko Widodo yang sangat mungkin bakal mengisi lagi pos-pos kementerian strategis di era Prabowo-Gibran. Sebagian berasal dari kalangan profesional, sebagian lagi merupakan kader parpol pendukung pemerintah. Mereka selama ini merupakan orang-orang kepercayaan Jokowi.
Sejujurnya, hal itu tidak mengherankan sebab Prabowo sejak mula menjadi calon presiden pada Pemilu 2024 lalu, ia konsisten mengusung slogan keberlanjutan. Dengan mengajak hampir separuh menteri era Jokowi untuk bergabung dalam pemerintahannya, barangkali Prabowo berpikir itu bisa menjadi salah satu cara mengeksekusi visi keberlanjutan tersebut.
Akan tetapi, tak bisa ditampik juga pandangan yang menyebut bahwa pekatnya rasa Jokowi itu sesungguhnya merupakan indikasi betapa kuatnya daya tawar presiden dua periode itu terhadap Prabowo. Jokowi seakan telah menjadi entitas tersendiri di luar parpol pendukung yang punya kekuatan bargaining position yang tak kalah kuat terhadap Prabowo.
Sorotan yang juga menarik dari proses 'audisi kabinet' ialah tentang minimnya jumlah sosok perempuan yang dipanggil Prabowo ke Kertanegara. Dari total 108 orang yang dipanggil, hanya 11 orang yang berjenis kelamin perempuan atau 10%. Sangat jomplang ketimbang jumlah laki-lakinya. Dari jumlah itu pun, paling banyak hanya enam orang yang akan menjadi menteri. Sisanya jadi wakil menteri atau posisi lain.
Baca juga:Sosok Profesional di Kabinet Bisa dari Parpol dan Non-Parpol |
Kalau benar hanya ada enam menteri perempuan di kabinet Prabowo-Gibran, artinya tidak ada peningkatan dari jumlah menteri perempuan di Kabinet Indonesia Maju era Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Bahkan turun jika dibandingkan dengan menteri perempuan di awal Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berjumlah sembilan orang.
Itu ironis karena di satu sisi jumlah kementerian bertambah dari 34 menjadi 46 (naik sekitar 30%), tetapi jumlah keterwakilan perempuan di kabinet tidak bertambah. Artinya, citra kabinet di Indonesia yang sejak dulu dinilai terlalu maskulin karena begitu dominannya jumlah menteri laki-laki, ya, akan tetap seperti itu. Tetap maskulin.
Kiranya perlu dipikirkan, di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender, penting untuk membuat kebijakan afirmatif yang mengatur kuota minimal jumlah perempuan dalam kabinet.
Kebijakan serupa sudah diterapkan dalam pencalonan anggota legislatif dengan kuota minimal 30% perempuan.
Mengapa keterwakilan perempuan di eksekutif dan legislatif penting? Karena ketika keduanya dikuasai laki-laki, dimonopoli kaum patriark, sangat mungkin akan banyak keputusan politik yang tidak adil bagi kepentingan perempuan, juga anak. Keputusan atau kebijakan yang dihasilkan boleh jadi tidak adil, tidak sensitif gender karena minim keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan itu. Pun, secara kualitas, sesungguhnya perempuan juga tidak kalah dari laki-laki.
Mumpung susunan kabinet belum resmi diumumkan, silakan saja kalau Pak Prabowo mau mengakomodasi banyak menteri eks Pak Jokowi. Namun, di saat yang sama, tolong tambah juga, dong, jumlah menteri perempuannya.