SAYA pun mulai mencoba dengan menerjemahkan Capitalisme Wake Up, buku kecil Ali Syariati, seorang intelektual Iran yang waktu itu menebar sihir di kalangan aktivis Islam, setelah terbit bukunya yang diterjemahkan Amien Rais, Tugas Cendekiawan Muslim. Saya juga menerjemahkan artikel panjang Syed Hossein Nasr, Islamic Work Ethics; semuanya diterbitkan Shalahuddin.
Priyono bekerja sama dengan saya antara lain menerjemahkan What Is the Origin of Man? karya Maurice Bucaille. Rasanya buku tebal yang cukup membosankan itu tak tuntas kami kerjakan.
Melihat tak banyak peluang bagi keahliannya di Jogja, ia hijrah ke LP3ES Jakarta, dan mengurus divisi buku. Ia selalu kagum pada Kuntowijoyo (siapa yang tidak?). Ia pun berinisiatif mengumpulkan dan mengedit kumpulan tulisan-tulisan panjang Pak Kunto, menjadikannya buku Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, terbitan Mizan, Bandung. Buku itu disambut hangat, hal yang sudah sepantasnya, dan dicetak ulang berkali-kali.
Priyono mengerjakan buku itu dengan sepenuh ketekunan, dan membuahkan karya yang membanggakan -- dengan menekankan subjudul Interpretasi untuk Aksi. Itu adalah sebuah pesan terselubung terhadap mereka yang hanya suntuk melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam, tanpa program aksi yang operasional.
Kuntowijoyo adalah sejarawan didikan Prof Sartono Kartodirdjo di UGM, yang merambah pemanfaatan teori-teori ilmu sosial dalam penulisan sejarah yang berwatak "Indonesia-sentris", bukan lagi dari perspektif kolonial Belanda sebagaimana lazim di masa sebelumnya. Namun dalam pemanfaatan teori-teori ilmu sosial ini, saya rasa Kuntowijoyo, seorang yang sangat pintar dan mendalam sekaligus sangat rendah hati, cukup jauh melampaui gurunya. Pak Kunto benar-benar mengamalkan semangat akademis dalam tingkat tertinggi: ia tak pernah menjadi plagiat, juga terhadap karyanya sendiri; ia tak pernah mengulang ide yang sama di forum mana pun.
Dan ia tak membedakan "kualitas" dan kebesaran forum; untuk diskusi di forum kecil HMI pun, ia selalu mengajukan ide-ide segarnya dengan penuh kesungguhan. AE Priyono turut berjasa menyebarkan banyak ide Pak Kunto yang terserak di berbagai sumber melalui buku Paradigma Islam yang ia beri pengantar singkat, selain pengantar M. Dawam Rahardjo yang sangat baik.
Kerjasama terakhir
Kerjasama kami terakhir adalah di Republika, di awal pendirian koran itu di awal 90-an, sekeluar Priyono dari LP3ES.Kami berada di satu divisi, penelitian dan pengembangan. Sejak itu kami makin jarang berjumpa, meski saya selalu berusaha mengikuti berbagai aktivitasnya dari jauh. Ia kemudian bekerja di Demos, lembaga riset dan advokasi isu-isu HAM, minat abadinya, bersama intelektual Swedia, Olle Tornquist dan lain-lain.
Ia terdengar mulai mengidap diabetes. Ia rupanya sempat menempuh pendidikan S2 di UGM, tak sampai selesai. Jantungnya mulai dipasangi ring. Ia juga sempat kembali ke LP3ES untuk menduduki jabatan penting di sana. Tapi ketika saya menghadiri ulang tahun ke-45 lembaga itu beberapa tahun lalu, dan berharap ketemu dia di Hotel Shangrila, ia absen. Sayup-sayup saya mendengar hubungannya dengan lembaga itu berakhir dengan tak menggembirakan.
Kami belakangan hanya terhubung melalui beberapa grup WA, dan dari situ terlihat ia masih terus menekuni isu-isu favoritnya, dan tetap dengan lontaran-lontaran ide yang ia sajikan dengan tajam dan keras -- sering dengan determinasi yang membuat saya heran dan terkejut. Ia terutama sangat garang menghantam ide-ide yang bersemangat ateistik, terutama dari khazanah Fisika; hal yang sangat mengherankan saya untuk seorang yang biasa bersikap open minded terhadap ide-ide.
Sejak dulu, di samping menekuni isu-isu "duniawi" yang berwatak progresif dan anti kemapanan, Priyono selalu menyisakan ruang kontemplasi spiritual dan meminati kajian-kajian sufisme. Ia selalu terpukau dan mengapresiasi Iqbal, Rumi, dan Ibn Arabi.
Ia suka membaca karya-karya Louis Massignon dan, terutama, Henri Corbin tentang para sufi itu; ia menaruh perhatian khusus pada sufi Iran Mulla Sadra. Ia tak jarang menawari anggota grup WA buku-buku terbaik hasil kurasinya dalam format PDF.
Dilarikan ke rumah sakit
Seminggu lalu Priyono dilarikan ke rumah sakit. Setelah berkeliling ke beberapa rumah sakit, ia dirawat di RS Polri Kramat Jati. Kami kawan-kawan lamanya langsung mencurigai wabah ini, karena dari info yang saya terima, hampir semua cirinya terpenuhi.
Sudah dua hari ia tak sadarkan diri. Sebelumnya ia mengeluhkan telinganya yang sangat sakit, sampai memgeluarkan darah. Foto-foto yang saya terima hanya saya edarkan kepada beberapa sahabat. Beberapa hari kemudian ia mulai sadar, dan dipindahkan ke ruang standar di RS.
Kepada setiap kawan yang bertanya, selalu saya katakan: jangan kuatir, jika tak ada kabar dari anaknya, itu artinya kabar baik. No news is good news. Barangkali saya hanya menghibur diri.
Ketenteraman saya robek tengah hari dua hari lalu, ketika begitu banyak telepon dan pesan WA masuk ke HP saya, mengabarkan apa yang saya kuatiri sejak seminggu terakhir. Berulang-ulang saya menyaksikan apa yang kemudian saya curigai: sinyal tentang kepulihan cepat seakan isyarat bahwa itu adalah daya hidup terakhir sebelum lenyap.
Sambil menggigit bibir, saya menulis epitaf di dalam hati: Anang Eko Priyono, lahir di Temanggung 6 November 1958, wafat di Jakarta 12 April 2020; seorang intelektual sepanjang hayat, seorang penulis nonfiksi yang sangat baik dan selalu mampu mencapai formulasi kalimat-kalimat panjang yang bersih dan cerdas, yang tak henti gelisah dan merisaukan banyak hal tentang orang banyak, melampaui kerisauannya tentang dirinya sendiri.
Begitu lama kita tak bertemu, Nang, dan begitu banyak agenda baru yang hanya bisa saya inginkan untuk kita obrolkan, persis seperti kita memulainya pertama kali, 39 tahun silam. []
*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui kolom@medcom.id.

