Benny Susetyo. Foto: MI/Susanto
Benny Susetyo. Foto: MI/Susanto (Misbahol Munir)

Romo Benny: Kita Butuh Semacam GBHN untuk Mengatasi Banjir

Misbahol Munir • 28 Februari 2021 21:42

Publik disuguhi pernyataan konyol seperti banjir Jakarta terjadi di akhir pekan bukan di hari kerja serta air dialirkan ke tanah bukan ke laut. Bagaimana pendapat Anda sebagai budayawan?
 
Anda ini menyerempet-rempet (ke Gubernur Anies). Saya ingin mengatakan begini. Semua manusia itu diberi rasionalitas oleh Tuhan. Yang penting rasionalitas itu bisa dihitung dan terukur. Gunakanlah ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan banjir. Jadi bagaimana penyelesaiannya? Ya jawabannya adalah membuat sodetan, bendungan, bangun sistem drainase.
 
Maka salah satunya contohlah Korsel (Korea Selatan). Saya tidak mau berpolemik, saya ingin mengatakan contohlah yang sudah ada dan sudah berhasil. Karena ilmu pengetahuan mempelajarinya, dan ilmu pengetahuan itu rasional.
 
Anda tadi menyebut master plan. Apakah itu sudah disusun? Sudah ada. Mulai kepemimpinan sebelumnya, sejak Pak Ali Sadikin sudah ada.
 
Anda tadi menyinggung soal political will. Apa susahnya dari political will itu? Apa evaluasi dari Romo Benny?
 
Ini menurut saya masing-masing kepala daerah harus saling melengkapi satu sama lain. Kita perlu belajar sinergi dan kerja sama. Karena semua kepala daerah memberi sumbangsih terhadap itu. Tinggal dilakuan dan dilanjutkan. Yang penting kedepannya adalah pembangunan terencana.
 
Mengapa hal itu tidak pernah bisa dilakukan?
 
Karena kita tidak mau sebuah pembangunan berkelanjutan. Dulu zaman Soeharto dengan segala kekurangannya punya Garis Besar Haluan Negara (GBHN), di situ ada program 5 tahunan, kita ingat trilogi pembangunan. Bagaimana pembangunan itu ditata. Kita butuh itu. Supaya setiap pergantian itu tidak lagi selera politik tapi tetap dilanjutkan karena program yang kontinyu.
 
Jadi jawabannya adalah menghidupkan kembali GBHN?
 
Iya. Itu salah satunya. Ini sebuah usulan, tentu boleh saja. GBHN itu sebatas memberi arahan atau haluan selama 25 tahun? Semisal selama 25 tahun kita harus punya bendungan. Berapa jumlah bendungannya? Itu tergambar jelas. Sehingga efeknya kerasa dan kontinyuitasnya ada.
 
Kalau enggak begitu akhirnya tergantung selera. Iya itu enggak salah. Karena tidak ada sesuatu yang mengikat. Jadi memang kita membutuhkan refleksi. Mengapa? Karena tidak ada perencanaan pembangunan yang kontinyu.
 
Ini menurut saya jadi sebuah refleksi untuk memiliki sebuah pembangunan jangka panjang. Kalau 50 tahunan terlalu jauh, tapi 25 tahun saja. Sehingga ketika pergantian kepemimpinan, siapapun pemimpinnya, mau dari partai manapun sehingga memiliki sesuatu yang baik. Yang baik dilanjutkan dan yang kurang ditambahin. Sehingga tidak tambal sulam.
 
Lalu bagaimana dengan niat bekerjanya sebagai kepala daerah?
 
Pemimpin itu pelayan publik. Karena pelayan publik maka dia harus memperhatikan kesejahteraan publiknya. Ini yang agak berat dalam kondisi demokrasi saat ini. Jujur demokrasi sekarang ini cost (biaya politiknya)-nya terlalu mahal.
 
Ini yang menyebabkan orang ingin beda dengan yang lain. Karena terlalu mementingkan personalitisasi pada visi pribadi. Padahal kalau kita ingin bangsa maju harusnya berpaku pada visi negara bukan visi pribadi. Ini yang kedepan kita harus mulai belajar banyak.
 
Refleksi dari keadaban alam, kita membutuhkan negarawan-negarawan yang tidak lagi mementingkan dirinya sendiri. Sehingga kalau kita bicara filsafat Socrates dan Plato, pemimpin itu bukan prajurit, bukan juga pengusaha, tapi filsuf. Filsuf itu negarawan yang sudah selesai dengan dirinya dan mampu berpikir luas dan mampu mementingkan kesejahteraan umum.
 
Mungkin karena belum jadi Presiden?
 
Ini bukan persoalaan jadi presiden atau tidak. Semua orang bisa jadi negarawan. Dan itu banyak. Kalau Anda lihat acaranya Kick Andy, Andy Noya banyak negarawan-negarawan yang tidak menjabat di kekuasaan. Itu negarawan. Banyak dari mereka lebih memperhatikan kepentingan bersama untuk rakyatnya dan berjuang untuk rakyatnya. Nah, ini yang seharusnya ada disetiap insan masyarakat Indonesia dan itulah yang disebut insan Pancalisa,
 
Sama-sama terjadi banjir di setiap era kepemimpinan di Jakarta dari yang sebelumnya sampai sekarang. Tetapi era sebelumnya terlihat kerjanya seperti melakukan normalisasi. Sementara yang sekarang kerja-kerja normalisasi tidak kelihatan sama sekali. Pandangan Anda seperti apa?
 
Masyarakat lebih tahu dan mereka lebih bisa memotret hal itu. Dan itu yang dipotret sebagai realita masyarakat yang dipahami. Tapi sebagian masyarakat juga bisa berbeda. Itulah persepsi. Yang mengatakan persepsi itu wajar-wajar saja. Tapi pada akhirnya yang bisa menilai adalah suara hatinya.
 
Saya bekerja atau tidak adalah suara hati. Suara hati saya tidak bisa menipu diri saya. Karen suara hati itu adalah suara paling terdalam, orang beriman memiliki suara hati akan mengalami kepekaan. Itu merupakan jawaban. Tapi kalau persepsi itu tergantung dari sudut pandang orang dan konstruksi orang serta tergantung orang melihatnya.
 
Kalau saya melihatnya akhirnya dikembalikan apakah Anda memiliki suara hati atau enggak? Suara hati ini yang akhirnya mampu memiliki tabularasa. Itu yang kita butuhkan sekarang. Jadi dari peristiwa ini kita belajar tentang bagaimana keutamaan manuasia dalam mengolah alamnya.
 
Bagaimana manusia tidak serakah, tidak mengeksploitasi alam dan bagaimana manuasi mencintai alamnya dan ini harus dimulai dari pendidikan sejak dini. Dan itulah yang seharusnya menjadi kesadaran publik bersama.

 
Read All
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar cuaca ekstrem musim hujan bencana alam cuaca buruk bencana banjir Anies Baswedan

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif