HUBUNGAN antara presiden dan pendahulunya di negeri ini, secara relatif, harus dikatakan tidak hangat.
Bahkan dalam level tertentu bisa dikatakan teramat buruk.
Meski transisi kepemimpinan di negeri ini tidak pernah berlangsung melalui kudeta, pada hampir setiap periode pergantian presiden selalu saja ada komunikasi tidak harmonis antara presiden dan pendahulunya. Itu berlangsung sejak Presiden Pertama RI Soekarno hingga Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Lingkaran setan hubungan tidak harmonis itu sejatinya telah terputus saat Presiden Ketujuh RI Joko Widodo terpilih dalam Pilpres 2014 untuk menggantikan Presiden Keenam RI Yudhoyono yang menjabat selama dua periode.
Kita mencatat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, serah terima jabatan Presiden RI dilakukan dengan kehadiran kedua figur presiden.
Kita ingin agar pola hubungan yang harmonis semacam itu saat pergantian kepemimpinan bangsa ini diteruskan.
Karena itu, saat SBY sebagai Presiden Keenam RI, pekan lalu, mengutarakan keinginan untuk bertemu dengan Presiden Jokowi, kita tidak keberatan.
Kita mendukung pertemuan kedua pemimpin bangsa tersebut, apalagi jika hal itu dimaksudkan membicarakan dan mencari solusi atas berbagai persoalan bangsa.
Akan tetapi, keinginan bertemu Presiden Jokowi, seperti dinyatakan SBY, tidak semata dan tidak sepenuhnya dimaksudkan mencari solusi bagi persoalan bangsa.
SBY mengatakan ingin bertemu Presiden Jokowi untuk mengklarifikasi berbagai isu yang menimpa dirinya.
Isu-isu tersebut mulai dugaan bahwa SBY membiayai demo 411 dan 211 terkait dengan kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur nonaktif DKI Basuki Tjahaja Purnama, makar, hingga isu penyadapan percakapan teleponnya dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin yang menjadi salah satu materi dalam persidangan kasus Ahok.
Terus terang, dengan mengangkat isu tersebut, SBY seolah hendak mengatakan ia terzalimi.
Semua paham, 'terzalimi' menjadi gaya politik SBY untuk merebut hati publik.
Artinya, maksud dan tujuan SBY ingin bertemu Jokowi ialah ingin membicarakan persoalan yang terkait dengan pilkada DKI Jakarta.
Kita tahu putra pertamanya, Agus Harimurti Yudhoyono, menjadi salah satu calon gubernur.
Bila itu maksud dan tujuannya, sangat tidak etis dan tidak tepat bila pertemuan kedua pemimpin itu dilaksanakan.
Apalagi SBY mengungkapkan keinginan bertemu Presiden Jokowi melalui curhat kepada rakyat lewat jumpa pers ataupun cicitan di lini massa, bukan dikemukakan secara langsung melalui saluran yang patut.
Karena itu, sungguh jitu respons Presiden Jokowi yang memberikan waktu pertemuan dengan SBY seusai perhelatan pilkada DKI Jakarta.
Pertemuan Jokowi-SBY, bila dilangsungkan sebelum pilkada, jelas tidak baik bagi kewibawaan kedua pemimpin.
Apalagi sebagian masyarakat masih menyangsikan niat SBY bertemu Jokowi, selain untuk kepentingan terkait dengan pilkada DKI Jakarta yang rawan konflik kepentingan bagi kedua pemimpin.
Jika dilangsungkan setelah pilkada, pertemuan Presiden Ketujuh RI Jokowi dan Presiden Keenam RI Yudhoyono diharapkan menghasilkan solusi bagi penyelesaian persoalan bangsa. Itu menjadi perjumpaan dua negarawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
