Kedaulatan di Sektor Minerba
Kedaulatan di Sektor Minerba ()

Kedaulatan di Sektor Minerba

30 Agustus 2017 07:34
Freeport ialah suatu pelajaran soal kedaulatan. Pelajaran itu pun amat mahal dan panjang sebab terlalu lama khitah Undang-Undang Dasar 1945 diabaikan. Akibatnya, selama 50 tahun bangsa ini hanya menjadi penonton dalam penyedotan besar-besaran sumber daya alam. Lewat kontrak karya yang ditetapkan sejak 1967, amanat keadilan sosial tersingkirkan.
 
Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam, juga yang harus menanggung dampak lingkungan, hanya berhak atas pendapatan 2,5% dari royalti dan 35% dari pajak. Oleh karena itu, kesepakatan yang dapat dijalin pemerintah dengan PT Freeport, kemarin, merupakan langkah penting. Kesepakatan menjadi langkah awal dan berani dalam menegakkan kedaulatan.
 
Kesepakatan yang berlangsung di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu dihadiri Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan CEO Freeport-McMoran Copper & Gold Inc Richard Adkerson. Poin terpenting sebagai langkah awal kedaulatan itu ialah divestasi saham PT Freeport sebesar 51%. Selama ini saham pemerintah Indonesia hanya 9,36%.
 
Poin kedua yang dipenuhi Freeport ialah membangun smelter sampai dengan jangka lima tahun sejak izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Kemudian pada poin ketiga, Freeport sepakat untuk menjaga besaran penerimaan negara. Dengan terpenuhinya ketiga poin itu, kesepakatan keempat pun dicapai, yakni sebagaimana diatur dalam IUPK, Freeport akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2 x 10 tahun hingga 2041. Keberhasilan kesepakatan itu juga menunjukkan pemerintah memang semestinya tidak gentar berhadapan dengan pihak mana pun, termasuk perusahaan asal negara adidaya sekalipun. Kegigihan pemerintahan Presiden Joko Widodo selama beberapa tahun ini pun mampu menyurutkan langkah Freeport yang semula mengancam akan menggunakan jalur arbitrase.
 
Freeport yang merupakan salah satu perusahaan tambang terkaya di dunia akhirnya mau tunduk mengikuti perubahan status dari kontrak karya ke IUPK. Perubahan status itu mengacu dan berpedoman pada Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
 
Penerbitan peraturan itu di satu sisi menunjukkan kesadaran pemerintah bahwa kedaulatan bangsa dan keadilan sosial merupakan hal yang tidak dapat ditawar. Di sisi lain, kebijakan itu juga merupakan keniscayaan akan perubahan yang harus dilakukan pada paradigma minerba yang ada selama ini. Telah begitu lama minerba hanya dianggap sebatas komoditas.
 
Padahal, semestinya minerba mampu menciptakan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Perubahan paradigma itu pun telah dijalankan negara-negara maju yang beralih dari penjual komoditas sumber daya alam menjadi industri pengolahan. Hal itu pula yang disadari Presiden dengan menginstruksikan jajarannya fokus mengembangkan penghiliran industri, terutama pertambangan minerba.
 
Namun, tetap saja, kesepakatan dengan Freeport kali ini belumlah kedaulatan seutuhnya bagi bangsa ini. Berbagai celah kerugian bisa saja terbuka dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Tidak hanya itu, kekhawatiran banyak pihak bahwa perubahan kontrak Freeport dapat menjadi penjajahan oleh bangsa sendiri juga tidak dapat diabaikan.
 
Oleh karena itu, langkah perubahan ini harus dikawal segenap lapisan masyarakat. Seluruh jajaran pemerintah yang terkait juga harus dapat membuktikan bahwa perubahan sistem kerja sama dengan Freeport ialah sepenuhnya untuk kemaslahatan bangsa dan bukannya kepentingan segelintir pihak.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase freeport

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif