Setya Novanto bisa disebut sebagai politikus lihai.
Lihai karena pengaruhnya mampu menembus dinding Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua DPR yang merangkap Ketua Umum Partai Golkar itu tidak berhenti memproduksi kontroversi.
Empat hari seusai ditahan KPK pada 17 November, yakni pada 21 November, tersangka korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-E) itu mengeluarkan surat penunjukan Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar.
Pleno partai pun mengabulkan permintaan itu.
Pada 21 November itu Novanto juga mengirim surat kepada pimpinan DPR. Isinya meminta Mahkamah Kehormatan DPR tidak menggelar sidang etik untuk mencopot dirinya.
Permintaan itu pun dikabulkan.
Mestinya, dua hari lagi Novanto otomatis diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Ketua DPR.
Pada 13 Desember itulah ia resmi menyandang status terdakwa bersamaan digelarnya sidang perdana kasus korupsi KTP-E.
Pemberhentian sementara Novanto itu sesuai dengan Pasal 87 ayat (5) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang menyebutkan pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Di sinilah letak Novanto sebagai politikus lihai.
Sebelum diberhentikan sementara, ia pun buru-buru melayangkan surat pengunduran dirinya dari posisi Ketua DPR.
Dalam surat yang beredar pekan lalu, Novanto menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai Ketua DPR.
Pengunduran diri Novanto sebagai Ketua DPR bukan atas kesadarannya telah melakukan pelanggaran etika.
Pengunduran diri disertai penunjukan penggantinya memperlihatkan Novanto tetap lihai.
Sesuai ketentuan UU MD3, kursi Ketua DPR itu milik Partai Golkar.
Namun, UU MD3 hanya menyebut dalam hal seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya, penggantinya dari parpol yang sama.
UU MD3 ataupun Tata Tertib DPR sama sekali tidak mengatur bagaimana mekanisme pergantian itu mesti dilakukan dalam tubuh parpol.
Rujukan soal pengganti Novanto ada dalam Pasal 27 ayat (2) Anggaran Rumah Tangga (ART) Golkar yang menyatakan dewan pimpinan pusat mengangkat, menetapkan, dan memberhentikan alat kelengkapan di MPR dan DPR. Ini membuat Golkar terbelah.
Ada yang menyebut Novanto masih resmi menyandang jabatan Ketua Umum Golkar sehingga ia bisa menunjuk langsung pengganti.
Ada pula yang berpendapat penentuan pengganti itu bukan hak prerogatif Novanto.
Alasannya, yang dimaksudkan dengan dewan pimpinan pusat dalam ART itu bukan hanya ketua umum, melainkan bersifat kolektif dalam bentuk rapat pleno.
Publik pasti menghormati otonomi Golkar untuk menentukan pengganti Novanto sebagai Ketua DPR.
Namun, publik berharap Ketua DPR yang baru bersih, sehingga tidak berpotensi bermasalah hukum di kemudian hari, berpengalaman, dan berintegritas.
Ketua DPR yang baru diharapkan bisa memulihkan citra DPR di mata rakyat yang terus merosot.
Jauh lebih penting lagi, yang perlu dipertimbangkan ialah sebaiknya Ketua DPR ditetapkan setelah Golkar memilih ketua umum baru sehingga tidak ada perubahan kebijakan.
Jangan sampai Ketua DPR baru justru diganti di tengah jalan setelah terpilih Ketua Umum Golkar yang baru.
Jika itu yang terjadi, Ketua DPR bisa-bisa jadi bahan mainan parpol.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
