Kemandirian hukum di negeri ini tengah diuji. Tak cuma skandal besar yang melibatkan orang-orang besar, kasus biasa yang melibatkan orang biasa pun bisa mengusik independensi. Pertaruhan terkini menunggu di perkara pembunuhan Mirna Salihin dengan tersangka Jessica Wongso. Perkara itu sejatinya perkara kriminal biasa. Ia mendapat atensi luar biasa dari publik karena modusnya memang tidak biasa. Jessica diduga membunuh Mirna dengan racun sianida yang dicampurkan ke kopi vietnam yang diminum korban di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta, 6 Januari 2016. Perkara tersebut kemudian menyesaki ruang publik. Kemampuan polisi untuk mengungkapnya pun menjadi sorotan. Terlebih setelah Jessica ditetapkan sebagai tersangka, berkas perkara pemeriksaan yang mereka serahkan berkali-kali ditolak kejaksaan karena belum lengkap.
Jessica bahkan nyaris bebas hingga akhirnya dua hari menjelang batas waktu 120 hari masa penahanan berakhir, BAP itu dinyatakan P21 alias lengkap untuk dibawa ke persidangan. Setidaknya, satu babak penuntasan kasus tersebut bisa dilewati, tetapi babak-babak lain telah menanti. Persoalan baru bahkan langsung menyeruak dengan terungkapnya perjanjian antara otoritas Indonesia dan Australia terkait dengan masa depan Jessica. Aparat Australia memang membuka akses dan memberikan data ataupun rekam jejak tindakan kriminal Jessica selama di 'Negeri Kanguru' yang sangat bernilai bagi Polri untuk menjerat Jessica.
Hanya, bantuan itu tidaklah gratis. Australia meminta Jessica nantinya tidak dihukum mati karena mereka tidak mengenal, bahkan menentang hukuman mati, dan Indonesia mengiakannya. Kementerian Hukum dan HAM yang mewakili Indonesia sudah pula meneken kesepakatan soal itu. Polri memang perlu menempuh banyak cara untuk mengungkap kasus pembunuhan Mirna. Jessica yang disebut-sebut beberapa kali berbuat kriminal di Australia dinilai sungguh rapi membungkus tindakan yang disangkakan kepadanya itu.
Namun, kita menyayangkan langkah otoritas Indonesia yang begitu saja memenuhi persyaratan Australia. Syarat agar Jessica tidak dihukum mati jelas mengusik kemandirian hukum di Republik ini. Hukuman mati masih berlaku dalam hukum positif di Indonesia sehingga siapa pun tak bisa melarangnya untuk diberlakukan. Boleh saja Australia tak menganut hukuman mati. Itu hak mereka, tetapi mereka tak berhak mengatur, apalagi memaksa dengan dalih apa pun agar hukuman itu tidak ditimpakan kepada Jessica.
Kita mendukung kejaksaan yang memastikan tidak akan terpengaruh dengan kesepakatan antara Indonesia dan Australia dalam mendakwa Jessica nanti. Kita juga berharap hakim sebagai pemegang palu vonis untuk bersikap sama. Dalam tatanan hukum kita jelas digariskan bahwa hakim bersifat mandiri, tidak terikat oleh apa pun dan tidak boleh terpengaruh oleh siapa pun.
Harus dipastikan bahwa apa pun hukuman untuk Jessica nanti murni didasarkan pada hukum. Jika memang Jessica pantas divonis mati, berlakukan hukuman itu. Jika memang Jessica tak seharusnya divonis mati, vonis dia dengan hukuman yang lebih ringan. Hukum hanya bisa tegak jika penegak hukumnya independen, bebas dari segala bentuk intervensi. Itulah yang kita harapkan dalam perkara Jessica, juga perkara-perkara lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
