PEMIMPIN yang efektif itu harus berani mengambil keputusan.
Keberanian itulah yang kini tampak pada Presiden Joko Widodo.
Ia menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) Deklarasi Pajak sebagai antisipasi jika pembahasan RUU Pengampunan Pajak kandas di DPR.
Sejauh ini, belum ada niat baik DPR untuk menuntaskan pembahasan RUU Pengampunan Pajak.
Tidak mengherankan bila berkembang pendapat bahwa realitas politik yang sesungguhnya terjadi ialah DPR tengah menyandera RUU Pengampunan Pajak sampai pemerintah mengabulkan keinginan dewan merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Publik tentu saja mendukung penuh sikap pemerintah yang tegas menolak membarterkan RUU Pengampunan Pajak dengan revisi UU KPK.
Pada titik inilah pemerintah mengalami dilema.
Itu karena pemerintah berharap dengan penerapan kebijakan amnesti pajak tahun ini, ada peluang menutup sebagian dari bolong realisasi penerimaan negara sekitar Rp290 triliun akibat anjloknya penerimaan dari migas dan komoditas serta realisasi pajak yang jauh di bawah target.
Dalam situasi dilema itulah dibutuhkan kepemimpinan efektif yang berani mengambil keputusan dan berani pula memikul risikonya.
Risiko terbesar yang dihadapi pemerintah jika RUU Pengampunan Pajak kandas ialah terpaksa memperbesar defisit anggaran dari angka 2,15% dari produk domestik bruto yang ditetapkan untuk APBN 2016.
Konsekuensinya, peme-rintah harus menambah utang untuk menutup defisit yang membesar, selain langkah lain pemotongan anggaran belanja dan opsi mengurangi subsidi BBM.
Di tengah situasi pelik itulah Presiden Joko Widodo mengumumkan pembentukan PP Deklarasi Pajak sebagai payung hukum cadangan jika RUU Pengampunan Pajak tak kunjung disahkan DPR.
Roh kedua peraturan itu pada dasarnya sama, yakni mengoptimalkan penerimaan negara melalui kebijakan pengampunan pajak.
PP Deklarasi Pajak merupakan pilihan yang tepat karena kebijakan yang diterbitkan pemerintah itu tanpa harus meminta persetujuan DPR.
Dengan demikian, pemerintah tidak perlu dan tidak pernah menggadaikan dukungan rakyat yang ingin mempertahankan eksistensi UU KPK.
Meski dikatakan sebagai pilihan yang tepat, harus diakui pula bahwa PP Deklarasi Pajak tentunya tidak selentur UU Pengampunan Pajak dalam memberikan diskon.
RUU Pengampunan Pajak, misalnya, menggunakan pendekatan uang tebusan dengan tarif rendah dan berjenjang, sedangkan PP Deklarasi Pajak tetap menggunakan tarif pajak penghasilan normal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan kata lain, perhitungan tarif dengan PP Deklarasi Pajak memang lebih tinggi ketimbang tarif yang tercantum dalam RUU Pengampunan Pajak.
Apa pun pilihan kebijakan, apakah UU Pengampunan Pajak atau PP Deklarasi Pajak, tujuan jangka pendeknya ialah pemerintah harus mampu menarik dana WNI yang selama ini lolos pajak dan ditempatkan di luar negeri.
Tujuan jangka panjangnya ialah pemerintah harus mampu mencegah penyelundupan pajak, meningkatkan kepatuhan pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak.
Jangan biarkan kerja pembangunan di Republik ini selalu terhadang masalah klasik, yakni seretnya penerimaan pajak.
Kita yakin, kepemimpinan yang efektif akan mampu meng-atasi berbagai kendala tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
