Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Psikolog UGM: Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia Masih Timpang

Arga sumantri • 11 Oktober 2021 16:32
Yogyakarta: Hari Kesehatan Jiwa se-Dunia diperingati setiap 10 Oktober. Tema yang diangkat oleh World Federation for Mental Health ialah ‘Mental Health in an Unequal World’ (Kesehatan Jiwa di tengah dunia yang tidak setara).
 
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Diana Setiyawati menilai fondasi sistem kesehatan jiwa akibat pandemi covid-19 belum tertata dengan baik. Menurutnya, pandemi membawa masalah pendidikan, kemiskinan, dan juga mengakibatkan banyak anak-anak yang kehilangan ayah-ibunya.
 
"Dampak psikisnya mungkin belum terlihat sangat signifikan saat ini, meski tekanannya sangat terasa nyata," kata Diana mengutip siaran pers UGM, Senin, 11 Oktober 2021.

Kepala CPMH Fakultas Psikologi UGM, sekaligus mitra penelitian Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) itu menerangkan, perubahan pola asuh karena perubahan konstelasi keluarga atau perubahan ekonomi keluarga, sangat berpotensi membawa dampak psikis jangka panjang. Para ahli perkembangan juga memprediksikan bahwa anak-anak dan remaja akan mengalami ‘the longest and the darkest effect of pandemic’ yang harus diantisipasi dan dikelola.
 
Baca: Guru Besar Unpad: Penggunaan Telenursing di Indonesia Masih Minim
 
Melihat kondisi tersebut, kata dia, diperlukan pemetaan komprehensif tentang kondisi sistem kesehatan jiwa bangsa untuk rekomendasi prioritas pembangunan yang lebih tepat. Dalam hal ini, Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) bersama Centre for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, dengan support dari UNICEF, membantu Kementerian Kesehatan memetakan kondisi sistem kesehatan jiwa Indonesia. 
 
"Tujuan dari penelitian ini untuk memberikan rekomendasi prioritas pembangunan. Penelitian masih berjalan, bekerja sama dengan Dinkes-Dinkes Kabupaten/Kota se-Indonesia," ujarnya.
 
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dengan data sementara yang terkumpul antara lain masih ada faktor-faktor yang secara umum dapat memperbesar risiko pengembangan gangguan jiwa. Antara lain, kemiskinan dan pendidikan yang rendah, atau lebih tepatnya literasi kesehatan jiwa yang rendah.
 
 

Ia menyebut, hal ini dapat mengakibatkan pola asuh orang tua yang tidak berorientasi pada kesejahteraan psikis anak.  Kekerasan terhadap anak di rumah, menjadi salah satu risiko besar. Kekerasan antar remaja dan bullying di sekolah juga merupakan faktor risiko lainnya. Kemudian, semua hal itu dapat berhubungan atau meninggikan risiko bunuh diri.
 
Lalu, seperti apa wajah sistem kesehatan jiwa di berbagai wilayah Indonesia?
 
Diana melihat masih ada kesenjangan yang cukup kentara dalam literasi kesehatan mental antar orang-orang yang bergerak di sistem kesehatan di berbagai wilayah Indonesia. Aturan dan distribusi bantuan terkait dukungan untuk tenaga kesehatan jiwa belum merata. Baik berupa pendanaan maupun fasilitas/infrastruktur (termasuk pemerataan RSJ).
 
Baca: Itje Chodidjah Resmi Jabat Ketua Harian Komnas Indonesia untuk UNESCO
 
Akses bantuan ke puskesmas terdekat bagi masyarakat, terkadang masih sulit dan mahal di beberapa wilayah di Indonesia. Belum semua puskesmas di wilayah Indonesia memiliki pelayanan kesehatan jiwa karena minimnya SDM yang terlatih dan kompeten dalam kesehatan jiwa.
 
Di sisi lain, pemasungan masih terjadi.  Hal ini terjadi karena keluarga dan komunitas tidak memahami deteksi dini. Keluarga dan komunitas juga tidak memahami manajemen ODGJ (Orang dengan gangguan jiwa) pasca treatment rumah sakit. 
 
Di sisi lain, tidak kuatnya keluarga menjalani treatment, sulitnya akses pelayanan kesehatan jiwa dan stigma untuk ODGJ dan keluarga menambah faktor risiko pemasungan.
 
"Secara umum ada kondisi yang tidak setara di Indonesia. Ketidak setaraan terlihat dalam pemenuhan SDM antar puskesmas se-Indonesia," tegas Diana.
 
 

Ia mencontohkan, terdapat kabupaten dengan 35 psikolog klinis bekerja di seluruh puskesmas yang berjumlah 25. Memiliki SDM yang bertanggung jawab khusus dengan program kesehatan jiwa sehingga bervariasi pendekatan promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi kesehatan jiwanya.
 
Sementara, di wilayah Indonesia yang lain, ada kabupaten yang memiliki 11 puskesmas, namun hanya 1 orang dokter umum yang pernah mendapatkan training kesehatan jiwa, bertanggung jawab terhadap program kesehatan jiwa bersama dengan segudang beban kerja di bidang kesehatan lainnya.
 
Dengan kondisi seperti ini, kata dia, masih ada beberapa pekerjaan rumah (PR) yang harus dilakukan bersama untuk membuat kondisi Indonesia setara di semua wilayah. Seperti, terpenuhinya SDM kesehatan jiwa, sistem rujukan yang terjalin rapi antar potensi masyarakat dan sistem kesehatan, serta orientasi program dari promosi, prevensi, kurasi dan rehabilitasi.
 
Selain itu, pendekatan dalam sistem harus sepanjang rentang kehidupan, bekerja sama dengan semua sektor masayrakat, seperti sekolah, organisasi kerja dan elemen masyarakat lain tempat nadi kehidupan masyarakat berjalan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan