Ia menyebut, hal ini dapat mengakibatkan pola asuh orang tua yang tidak berorientasi pada kesejahteraan psikis anak. Kekerasan terhadap anak di rumah, menjadi salah satu risiko besar. Kekerasan antar remaja dan bullying di sekolah juga merupakan faktor risiko lainnya. Kemudian, semua hal itu dapat berhubungan atau meninggikan risiko bunuh diri.
Lalu, seperti apa wajah sistem kesehatan jiwa di berbagai wilayah Indonesia?
Diana melihat masih ada kesenjangan yang cukup kentara dalam literasi kesehatan mental antar orang-orang yang bergerak di sistem kesehatan di berbagai wilayah Indonesia. Aturan dan distribusi bantuan terkait dukungan untuk tenaga kesehatan jiwa belum merata. Baik berupa pendanaan maupun fasilitas/infrastruktur (termasuk pemerataan RSJ).
Baca:
Itje Chodidjah Resmi Jabat Ketua Harian Komnas Indonesia untuk UNESCO
Akses bantuan ke puskesmas terdekat bagi masyarakat, terkadang masih sulit dan mahal di beberapa wilayah di Indonesia. Belum semua puskesmas di wilayah Indonesia memiliki pelayanan kesehatan jiwa karena minimnya SDM yang terlatih dan kompeten dalam kesehatan jiwa.
Di sisi lain, pemasungan masih terjadi. Hal ini terjadi karena keluarga dan komunitas tidak memahami deteksi dini. Keluarga dan komunitas juga tidak memahami manajemen ODGJ (Orang dengan gangguan jiwa) pasca treatment rumah sakit.
Di sisi lain, tidak kuatnya keluarga menjalani treatment, sulitnya akses pelayanan kesehatan jiwa dan stigma untuk ODGJ dan keluarga menambah faktor risiko pemasungan.
"Secara umum ada kondisi yang tidak setara di Indonesia. Ketidak setaraan terlihat dalam pemenuhan SDM antar puskesmas se-Indonesia," tegas Diana.