Guru Besar, Dekan Fakultas Biologi UGM dan Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI), Budi Setiadi Daryono
Guru Besar, Dekan Fakultas Biologi UGM dan Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI), Budi Setiadi Daryono

Opini Pendidikan

Kilas Balik 135 Tahun Hubungan Indonesia-Suriname

Medcom • 19 Agustus 2025 14:03
TANGGAL 9 Agustus 2025, tepat pada 135 tahun lalu sejak migrasi pertama Masyarakat Jawa ke Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890. Setiap tanggal tersebut, masyarakat Jawa di Suriname akan menggelar peringatan yang disebut Dag der Javaanse Immigratie atau The Day of Wong Jowo.
 
Sejarah Orang Jawa yang merupakan representasi dari bangsa Indonesia di Suriname merupakan sebuah perjalanan panjang diaspora yang bermula dari kisah getir kolonialisme Belanda di Indonesia, sehingga memaksanya untuk mencari peluang kesejahteraan hidupnya di negeri orang. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada masa tersebut, di kemudian hari telah mengakibatkan hubungan erat yang tidak terpisakan antar dua negara yaitu Indonesia dengan Suriname.
 
Pemerintah Kolonial Belanda pertama kali mendarat di Suriname pada Tahun 1667, seiring dimulainya perbudakan bangsa Afrika di Suriname sebagai wilayah jajahannya. Setelah itu, pada tahun 1853, Pemerintah Kolonial Belanda juga mendatangkan buruh dari China, diikuti oleh buruh dari India yang datang pada tahun 1873.

Sejak akhir abad ke-19, masyarakat Jawa mulai tinggal dan menetap di Suriname karena proses migrasi yang terus dilakukan oleh kolonial Belanda. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kurangnya tenaga kerja di Suriname akibat dihapuskannya perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863.
 
Gelombang pertama migrasi telah mengirim 94 tenaga kerja yang diberangkatkan dari Batavia pada tanggal 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma. Hal ini terus berlanjut hingga tahun 1939, dan total pekerja yang dikirim ke Suriname tercatat sejumlah 32.956 orang. 
 
Populasi Jawa yang semakin kuat menjadikan berbagai posisi penting dan strategis di Suriname diduduki oleh masyarakat Indonesia keturunan Jawa. Pada tahun 1946 berdiri Partai Politik yang didirikan oleh Orang Jawa yaitu PBIS (Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname) dan saat Suriname merdeka pada tanggal 25 Nopember 1975, banyak bermunculan partai politik yang “berbau” Indonesia seperti Pendawa Lima dan Pertjajah Luhur. 

Suriname Selayang Pandang 

Suriname menyimpan ikatan sejarah yang kuat dengan Indonesia. Lebih dari 135 tahun lalu, masyarakat Jawa pertama kali merantau ke Suriname sebagai tenaga kerja kontrak. Kini, keturunan mereka menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial dan politik negara tersebut, meskipun banyak di antaranya tidak lagi fasih berbahasa Jawa, apalagi Bahasa Indonesia.
 
Pada bulan Maret 1951, Prof. Dr. Yusuf Ismael, melalui studinya mengenai Orang Jawa Suriname, menyebutkan bahwa Suriname adalah “Indonesia” pada pantai Lautan Atlantik. Selain karena banyak penduduknya berasal dari Pulau Jawa, negara ini memiliki kemiripan iklim tropis dengan Indonesia. 
 
Baca juga: Kampus Berdampak vs Universitas Riset

Pada masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak pekerja Indonesia yang beralih profesi menjadi pekerja pertambangan bauxit di Moengo, Paranam dan Biliton. Akibatnya, beberapa daerah yang semula dikenal sebagai “daerah orang-orang Jawa” yang bertani dan bercocok tanam, seperti di Commewijne, Saramacca, Coronie dan Nickerie, semakin berkurang jumlahnya.
 
Belum lagi, gerakan “Mulih nDjowo” pada tahun 1950 semakin meningkatkan kepulangan orang Jawa kembali ke Indonesia, karena Keputusan Suriname menjadi Daerah Otonom di bawah Kerajaan Belanda. 
 
Melalui program ini, pemerintah Suriname dan Indonesia bekerja sama untuk memulangkan ratusan keluarga dan ribuan orang kembali ke Indonesia. Meskipun demikian, sampai saat ini, masih banyak masyarakat Jawa yang menetap di beberapa daerah di Suriname dan hidup turun temurun hingga mencapai generasi ke-lima dan ke-enam. 
 
Hasil sensus penduduk pada tanggal 2 Agustus 2004 lalu, jumlah penduduk Republik Suriname tercatat sebanyak 492.829 orang, dan Masyarakat keturunan Indonesia menduduki posisi ke-empat setelah Hindustani, Creole dan Marron dengan jumlah 71.879 orang. 
 
Meskipun masyarakat Indonesia keturunan Jawa ini telah tinggal di Suriname lebih dari 100 tahun, tetapi masih memiliki adat dan kebiasaannya seperti di Pulau Jawa, antara lain masih ditemukan pesta tayuban, wayang kulit, wayang orang, ludruk, dan tarian jaran kepang. Di daerah tertentu yang sebagian besar penduduknya masyarakat Indonesia, “suasana Jawa” masih terasa kental. Hal ini juga yang menjadikan Suriname kerap dipanggil sebagai “Perpanjangan dari Jawa”.
 
Namun demikian, Bahasa Indonesia belum dimengerti dan dipahami khususnya oleh Masyarakat Indonesia keturunan Jawa di Suriname, karena belum diajarkan secara intensif di sekolah-sekolah yang masih menggunakan Bahasa Belanda dan Bahasa Sranan Tongo sebagai bahasa pengantarnya. 
 
Baca juga: JRSCA Didirikan, jadi Langkah Solutif Hadapi Ancaman?

Selama perkembangannya, berbagai Orang Jawa di Suriname telah banyak yang menduduki posisi penting di bidang politik, ekonomi, dan sosial seperti sebagai Menteri, Panglima Angkatan Bersenjata, Ketua Parlemen, pendiri Fina Bank dan Trust Bank Amanah (bank syariah pertama di Amerika Selatan). Sedangkan di bidang kesehatan, memiliki jaringan klinik dan perusahaan alat kesehatan seperti Intermed dan Diapura, juga mendirikan berbagai stasiun TV dan radio seperti RTV Garuda, RTV Mustika, dan RTV Pertjajah.
 
Selain itu, mereka juga aktif di sektor konstruksi, teknologi informasi, perdagangan, pariwisata, restoran, tekstil, pertanian, dan pendidikan, serta mayoritas bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan swasta, guru, dokter, pedagang, hingga seniman dan tokoh agama. 

Potensi Biodiversitas Suriname 

Wilayah Republik Suriname berbentuk segi empat, dengan panjang sekitar 400 km dan lebar juga sekitar 400 km. Memiliki iklim tropis seperti Indonesia karena lokasinya juga di sekitar garis katulistiwa. 
 
Menurut Jackie De Burca (2024) Suriname, yang terletak di pantai timur laut Amerika Selatan, memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang luar biasa. Dengan lebih dari 5,100 spesies tanaman dan beragam spesies hewan, negara ini adalah salah satu surganya keanekaragaman hayati dunia.
 
Suriname juga memiliki ekosistem yang unik antara lain hutan hujan, hutan bakau, dan hutan pegunungan yang berkontribusi terhadap kekayaan keanekaragaman hayatinya. Suriname dibagi menjadi 4 zona ekologi yaitu dataran pantai, sabuk sabana, dataran tinggi bagian dalam, dan pegunungan Guiana Shield.
 
Setiap zona menyediakan habitat bagi berbagai spesies, sehingga berkontribusi terhadap tingginya keanekaragaman hayati Suriname. Sampai saat ini, Suriname telah mendirikan 11 Cagar Alam, 4 Kawasan Pengelolaan Multiguna (MUMA), dan 1 Taman Alam, yang mencakup sekitar 13,5 persen permukaan tanah.
 
Selain itu, Suriname juga telah mengembangkan Strategi Keanekaragaman Hayati Nasional yang komprehensif dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Nasional untuk memandu upaya konservasi. Suriname juga dikenal sebagai negara dengan emisi karbon nol (zero CO₂ emission) dan sebagai negara paling berhutan (the most forested country in the world).
 
Bahkan, terdapat satu provinsi yang seluruh wilayahnya merupakan hutan hingga tidak memiliki ibu kota sendiri, dan harus diwakili oleh ibu kota negara. Hal ini membuka potensi besar kerja sama di bidang biodiversitas dan konservasi serta perubahan iklim,  termasuk CO₂ capture dan Biodiversity Credit.
 
Suriname menyadari pentingnya melestarikan hutannya dan secara aktif terlibat dalam konservasi mangrove. Negara ini mempromosikan praktik ramah lingkungan di berbagai sektor dan bertujuan untuk mengintegrasikan sumber energi terbarukan. Suriname juga telah menetapkan target yang selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.

Refleksi dan Langkah ke depan

Masyarakat Jawa di Suriname telah menunjukkan kepada dunia bahwa budaya bisa bertahan, bahkan tumbuh dan berkembang di luar tanah kelahirannya. Masyarakat Indonesia keturunan Jawa adalah cerminan dari kekuatan identitas, daya tahan budaya, dan pentingnya menjaga warisan leluhur di tengah dunia yang terus berubah. 
 
Sebagai bangsa, Indonesia seharusnya tidak melupakan dan meninggalkan keturunanya  bahkan seharusnya menjalin dan meningkatkan hubungan serta kerjam sama. Upaya menjalin kembali kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan sesungguhnya telah dilakukan sejak era Orde Baru.
 
Kini, semangat itu diperbarui dengan membuka ruang kolaborasi tidak hanya dalam bidang pendidikan dan budaya, tetapi juga diperluas ke sektor ekonomi, industri, dan lingkungan hidup.
Komunitas Jawa di Suriname adalah bagian dari sejarah besar Bangsa Indonesia, bagian dari diaspora yang membawa nama dan nilai-nilai Indonesia ke belahan dunia lain.
 
Sudah saatnya kita memberi ruang lebih luas untuk mengenalnya, bekerja sama dengan keturunanya, dan belajar dari ketangguhan keturunanya . Selain itu, peringatan 135 tahun ini harus menjadi titik tolak untuk membangun masa depan bersama.
 
Suriname hari ini bukan hanya rumah bagi diaspora Indonesia, tetapi juga negara dengan kekayaan alam luar biasa, termasuk ekosistem hutan yang masih utuh dan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global. 
 
Fakta bahwa satu provinsinya didominasi hutan menunjukkan potensi luar biasa dalam kerja sama bidang biodiversitas dan konservasi. Dengan semangat ini, sinergi Indonesia-Suriname tidak hanya dapat memperkuat pendidikan dan budaya, tetapi juga membuka cakrawala baru di sektor ekonomi hijau, pengelolaan sumber daya alam, hingga diplomasi lingkungan.
 
Generasi muda keturunan Indonesia di Suriname juga memiliki kesempatan lebih besar untuk mengenal akar identitasnya sekaligus berkontribusi secara global, baik sebagai akademisi, pemimpin, politisi, maupun penjaga lingkungan.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan