15 tahun berlalu, tepatnya pada 2022, JRSCA tak lagi sekadar gagasan tetapi kenyataan yang terejawantahkan dalam kawasan yang dikelilingi pagar mencapai 5.100 hektare. Areal JRSCA mengusung konsep sistematis yang dilengkapi dengan sejumlah fasilitas untuk mendukung proses breeding badak jawa.
Menyelisik dari laman resmi TNUK, tercatat pembangunan JRSCA berasal dari aliran dana Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Pada rentang waktu 2019 hingga 2022 menjadi saksi bagaimana anggaran sebesar 130 miliar digelontorkan secara perlahan membentuk sebuah areal JRSCA.
Skema ini nantinya menjadi tempat bernaung Badak untuk berkembang biak lebih baik. Daryan, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TNUK menekankan hal terpenting dari skema ini adalah pemilihan badak jantan dan betina yang memiliki DNA berbeda dan kualitas yang baik.
Areal JRSCA terbagi menjadi empat bagian kandang besar, dengan tambahan satu bagian kandang pertemuan di tengah-tengahnya. Kandang besar tersebut mencakup kandang rawat untuk badak jantan dan badak betina. Ketika badak sudah kehabisan pakan, maka mereka akan dipindahkan ke areal kandang yang baru.
“[Kandang pertama] ini nanti kalau misalkan pakannya di sini habis, [biasanya] cukup untuk dua bulan. [Jantan] dia pindah ke kandang sini [kadang baru sebelahnya]. [Betina] ini pindah ke kandang sini [kandang baru], tetapi tetap pertemuan di kandang kawin,” ungkap Daryan.
Kandang rawat yang sudah terukur melebihi postur badak jawa memberikan leluasa ruang gerak baginya. Selanjutnya, dilengkapi juga dengan kandang jepit di sudut kandang untuk memudahkan melakukan pemeriksaan dan pengamatan secara intim. Dekat kandang rawat tersebut dilengkapi dengan meja dan wastafel guna memudahkan pemberian asupan air dan sanitasi bagi badak jawa.
Paddock tersebut juga terhubung dengan kandang boma atau kandang habituasi, yaitu kadang yang terbuat dari kayu dan dilengkapi pagar listrik di sekelilingnya. Luas kandang boma yaitu 530 meter dengan pepohonan dan kubangan agar seakan-akan berada di habitat asli.
Kemudian ketika masa estrus betina tiba, ia diarahkan untuk bertemu jantan di wilayah tengah atau kandang kawin. Setelah itu, terjadilah proses kawin secara alami dengan harapan menghasilkan kualitas DNA yang baik. Namun, menjadi pertanyaan besar jika mereka tidak kunjung kawin di kandang pertemuan tersebut. Maka, solusi yang selanjutnya dihadirkan adalah menggunakan teknologi Artificial Reproductive Technology (ART).
“Kalau nggak kawin-kawin disatukan di sini [kandang kawin]. Kita pakai teknologi ART nantinya, Artificial Reproductive Technology. Jadi teknologi reproduksi yang dibantu oleh manusia,” jelas Daryan.
Di tengah rimbun pepohonan areal JRSCA, berdirilah sebuah stasiun riset yang menjadi jantung dalam mendukung pelestarian badak jawa. Terdapat laboratorium yang menjadi tempat para peneliti menyelami genetik dan perilaku dari hewan berkulit tebal tersebut. Pada halaman depan bangunan kokoh itu terdapat lahan subur yang dijadikan ruang pengembangan pakan badak jawa.
Sementara itu, mess dibangun dekat dengan kandang rawat, seakan menjadi rumah kedua bagi para keeper dan dokter hewan. Keberadaan mereka yang sedekat mungkin dengan habitat badak memudahkan dalam memantau kondisi fisik dan perilaku badak jawa secara lebih intens.
Areal JRSCA pun dirancang dengan mengikuti kebutuhan ekologis badak jawa, mulai dari jalur jelajah, jenis vegetasi, hingga kubangan. Tim TNUK terus mengkaji dan mempersiapkan demi memastikan setiap detail terpenuhi menjelang pemindahan badak jawa ke JRSCA yang menjadi momentum bersejarah bagi konservasi satwa di Indonesia.
Hambatan Pemindahan Badak Jawa ke JRSCA
Prosedur pemindahan badak jawa ke JRSCA masih dalam kajian yang belum tuntas. Kendati demikian, Daryan mengungkapkan sudah tercetus langkah yang akan ditempuh. Mula-mula, akan dibuat galian lubang di tanah semacam kuburan untuk menjebak hewan yang memiliki tiga kuku kaki tersebut. Di atasnya terdapat papan yang akan runtuh jika dipijak oleh badak jawa yang beratnya lebih dari satu ton.Setelah itu, dokter hewan akan mengecek kondisinya. Jika mengamuk dan nampak stres, badak jawa akan dibius. Sebaliknya jika kondisinya normal, badak jawa akan digelandang ke galian tanah yang menjadi jalurnya berjalan menuju galian yang berisi kandang. Kemudian ia akan dialihkan ke kapal tongkang dan diangkut melalui jalur laut. Sesampainya di darat, badak jawa akan dibawa menggunakan truck crane menuju JRSCA.
Lain halnya seperti di Afrika yang menggunakan helikopter untuk mengangkut badak, Daryan menjelaskan cara tersebut tidak relevan diterapkan di Indonesia karena akan memicu kebisingan. Tak hanya itu, dengan kondisi kerapatan hutan yang tinggi, maka akan sulit dibangun helipad.
Ia menambahkan, konsep pemindahan ini tak kunjung terealisasi lantaran terganjal anggaran. Tidak sebatas masalah tersebut, diperlukan biaya untuk memenuhi kebutuhan operasional dokter hewan, perbaikan pembangunan pagar yang rentan roboh akibat musim angin kencang, dan penyempurnaan fasilitas listrik kejut untuk mencegah badak jawa kabur.
Rencananya, dua badak jawa yakni Desi dan Musofa akan menjadi penghuni awal JRSCA dengan perkiraan tiap individu menelan biaya 10 miliar. Dana tersebut hanya berlaku satu tahun untuk memenuhi kebutuhan pakan hingga biaya perawatannya selama habituasi. Namun kenyataannya jauh dari harapan, karena dana yang baru tersedia hanya 1,7 miliar. Saat ini anggaran telah tersedia baik dari Kementrian Kehutanan maupun di dukung Mitra
"Jadi kita hitung budget satu badak itu berapa, satunya sekitar 10 miliar. Tapi itu harus dikaji lagi, apakah ada yang tertinggal komponen-komponen [lain]. Anggaran yang tersedia kan baru sekitar 1,7 miliar, masih banyak yang kurang. Kalau jaminan anggaran untuk menghidupi badak di sini belum ada, kemungkinan bisa molor [proses pemindahannya] lagi," beber Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTN) II, Ujang Acep, saat diwawancarai di kantornya pada Jumat, 14 Februari 2025.
Kajian yang berlarut-larut mengantarkan satwa langka ini pada titik kritis. Seperti yang diungkapkan Arief, pengurus YABI, organisasi yang sudah menjadi mitra TNUK sejak tahun 1998, permasalahan konservasi badak jawa terlalu berkutat di atas kertas. Bahkan sampai sekarang, tak ada satu pun yang memahami perilaku dan kondisi badak jawa secara utuh karena pembelajaran dan pengawasan yang dilakukan baru bersifat parsial atau sekadar mengandalkan kamera trap. Konservasi badak jawa di Indonesia sendiri diawali sejak sekitar 1960. Akan tetapi, sudah lebih dari setengah abad berlalu, belum terlihat proses yang signifikan.
"Karena faktanya konservasi badak di Indonesia itu dimulai dari tahun 60-an. Tetapi hingga saat ini, relatif belum ada progres yang signifikan. Dalam arti kita nggak tahu jumlah angka populasi, perilaku, kondisi kesehatan dia, keterancaman dia, dan bagaimana nasibnya jangka panjang. Hanya berdasarkan asumsi yang beredar di masyarakat bahwa 'oh ini satwa yang spesial, satu-satunya di dunia'. Tetapi sebenarnya apa yang sudah kita lakukan? Belum ada. Baru sebatas pengamatan di permukaan," tegas Arief.
Ia juga menyoroti kasus perburuan badak jawa yang sempat menggemparkan Indonesia beberapa tahun belakangan. Faktanya, kejadian tersebut sudah berlangsung lebih dari lima tahun dan baru terungkap belum lama ini. Dirinya tak habis pikir karena masyarakat memilih tutup mulut dan melindungi para oknum tersebut. Padahal mereka menganggap badak jawa sebagai satwa ikonik Banten serta banyak mengadopsinya menjadi logo dan patung.
Pria yang sudah lebih dari 33 tahun berkecimpung dalam upaya menyelamatkan badak itu turut menyentil peran pemerintah daerah dan tokoh-tokoh masyarakat yang dukungannya baru sebatas wacana, pertemuan, dan kesepakatan, tanpa disertai langkah konkret.
"Jika kita tidak melakukan aksi [penyelamatan badak] dengan terukur dan terencana yang betul-betul implementing di lapangan, maka hasil yang diharapkan hanya sebatas laporan formalitas atau hanya kesepakatan teoritis saja," pungkasnya.
Baca juga: Langka, Kamera Rekam Momen Seekor Badak Jawa Asuh Anakan Baru |
Pengaruh politik juga tampak pada ide JRSCA yang baru mencuat pada 2007, cukup jauh dengan SRS yang sudah terealisasikan sejak 1996. Arief menyinggung gap yang terjadi ini dipengaruhi leadership pemerintah daerah dan penyelarasan gerbong tujuan yang sama.
Kepentingan masyarakat dan badak jawa kerap berbuah dikotomi. Narasi yang beredar adalah kesejahteraan masyarakat dikesampingkan, kata Arief, padahal penyaluran bantuan rutin dilaksanakan. Oleh karena itu, tak sepantasnya menyalahkan badak jawa sebagai penyebab masalah sosial karena implementasi konservasi yang baik justru akan menjadi jembatan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.
Selain itu, imbas dari tidak melunaknya silang pendapat mengenai second-habitat adalah ketidakpastian keputusan sehingga menghasilkan status quo. Alih-alih melestarikan badak jawa, hal ini justru menyengsarakan mereka. Dengan demikian, aspek sosial dan edukasi perlu digencarkan karena merupakan kebutuhan substansial.
Pada kenyataannya permasalahan ini berbanding terbalik dengan respons masyarakat yang acuh tak acuh karena tidak dapat melihat badak jawa secara riil. Tampak sepele, tetapi penyediaan fasilitas untuk masyarakat berinteraksi langsung dengan satwa tersebut dibutuhkan agar menimbulkan kesadaran simpatik. Bersamaan dengan itu, perlu ada individu dari badak jawa yang dipilih untuk dijadikan ambassador guna menggalang atensi publik sehingga mendapat dukungan yang luas.
Ambassador tersebut diperkenalkan melalui media sosial maupun secara langsung, seperti yang telah dilakukan pada badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera (SRS) Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Provinsi Lampung dalam media instagram resminya. Pengenalan ini seperti memperlihatkan badak makan, mandi, jelajah hutan, dan sebagainya. Kendati demikian, Arief menuturkan bahwa interaksi dengan manusia seperti pengunjung tetap dibatasi. Hal ini bertujuan agar publik tetap teredukasi dan mengetahui manfaat badak dalam ekosistem hutan.
“Memang ini harus ada contoh yang bisa dilihat, bahwa badak ini kondisi sangat kritis, masyarakat atau para pihak tidak peduli karena tidak bisa melihat langsung. Maka mungkin ada fasilitas untuk berinteraksi langsung dengan badak tersebut. Jadi harus ada ambassador dari individu badak ini yang dipilih, [agar] menjadi perhatian masyarakat sehingga bisa mendapat dukungan,” jelasnya.
Menurut Arief, keterlambatan menyadari seluruh kegentingan ini menjadi pukulan telak untuk segera berbenah dan mencari pemetaan masalah yang sebenarnya.
"Saya mengalami langsung turun ke lapangan, ke pelosok-pelosok, faktanya memang kita terlambat dalam mengambil keputusan [dan] menyadari kondisi sebenarnya. Jadi ya seringkali kalau yang didengarkan orang yang punya jabatan [atau] gelar. Tapi faktanya mereka kan tidak ke lapangan, kondisi real-nya tidak tahu. Nah, inilah yang perlu disebarluaskan, bahwa kita harus mendapatkan fakta pemetaan masalah sebenarnya apa. Bukan cerita dari media, gosip, tapi data yang sebenarnya. Karena ketika tidak disepakati data ini, maka solusinya pun tidak akan fokus," jelasnya.
Teranyar, hambatan yang dihadapi adalah efisiensi anggaran. Kebijakan politik yang dikeluarkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran ini nyatanya turut berdampak terhadap upaya konservasi badak jawa. Menurut Ujang, setiap tahun dana yang digelontorkan berbeda, tergantung tangan siapa yang berkuasa.
"Ya, jadi alokasinya tidak sama terus ya. Tergantung kebijakan Bapak Presiden. Sekarang ada efisiensi kan untuk kebijakan masih nol. Ada, cuma masih nol. Cuma nanti adanya berapa juga kita kan enggak tahu. Makanya, solusinya ya harus bermitra cari donatur. Yang sudah ada kan jelas Alert dan YABI," ucapnya.
Dirinya tak menampik bahwa anggaran yang dialokasikan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus berbagi dengan konservasi satwa liar lainnya. Namun, kebijakan efisiensi anggaran ini terlalu mendadak sehingga berdampak terhadap kebutuhan yang penting.
Kontemplasi Eksistensi Badak Jawa
Rentetan fakta yang terkuak ini seyogianya membuka mata seluruh pihak bahwa badak jawa berada dalam ambang kepunahan dan membutuhkan tindak lanjut sungguh-sungguh. Jumlah populasi yang meningkat bukan tolak ukur kelestarian ataupun jaminan jangka panjang hidupnya. Hal ini karena kontradiksi pada kondisi fisiknya yang kian menurun dan kualitas lingkungan hidup yang mencemaskan.Perdebatan seputar second-habitat dan JRSCA adalah cerminan tidak optimalnya langkah dasar yang ditempuh, terutama perihal anggaran hingga penelitian yang mengeksplor secara mendalam realitas hidup badak jawa. Imbasnya, upaya terukur sulit diimplementasikan. Lebih-lebih, masyarakat yang abai karena minimnya informasi tentang badak jawa baik dalam ranah pendidikan formal maupun nonformal.
Dilansir dari situs International Rhino Foundation, keberadaan hewan ini membantu menjaga keseimbangan ekosistem dan regenerasi hutan melalui penyebaran benih dari kotorannya. Fakta ini seharusnya dipahami semua kalangan masyarakat agar perburuan tak kembali melukai histori konservasi.
Pemerintah bertanggung jawab terhadap keberlanjutan hidup satwa yang identik dengan cula tersebut. Sebagai pemangku kebijakan, pemerintah memiliki wewenang dan fasilitas untuk membangun birokrasi yang berorientasi pada penelitian komprehensif. Tak kalah penting, diikuti aktualisasi serta komunikasi publik yang menyentuh titik substansi.
Meskipun sepak terjang pemerintah dalam upaya konservasi badak jawa sudah berlandaskan saintifik, keterlambatan bertindak dan alotnya realisasi kebijakan memperburuk keadaan. Deras kritik tentang legalitas komitmen dan transparansi anggaran justru yang menjadi buah bibir publik. Pada akhirnya, semuanya menjadi abu, tak ada pihak yang menang atau kalah, karena masing-masing memiliki basis data dan perspektif. Alhasil hingga kini nasib badak jawa masih terkatung-katung.
Di sisi lain, belum ada antisipasi jangka panjang apabila jumlah individunya kian meledak. Hal ini akan memicu lahirnya polemik baru sehingga perlu pihak kapabel dan berpengalaman untuk menggelar dialog terkait masalah tersebut.
Tentu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam menyelesaikan persoalan ini, dibutuhkan kerja sama dengan stakeholder eksternal untuk mempertahankan eksistensi badak jawa di muka bumi. Fakta bahwa satwa ini hanya tersisa di Indonesia sepatutnya menjadi pendorong untuk menyelamatkannya dari kepunahan. Tidak hanya karena statusnya sebagai satwa endemik tanah air, tetapi dampak positif eksistensinya terhadap sektor ekonomi dan pariwisata khususnya di Ujung Kulon.
Mengadopsi badak jawa menjadi simbol tidak cukup untuk menyelamatkannya dari kepunahan. Memuja-mujanya sebagai identitas bangsa masih terlampau jauh dari kemestian manusia dalam menjaga populasinya. Tindakan realistis yang hendaknya dijalankan adalah mengkaji sampai akar permasalahan. Namun tidak sebatas itu, dibutuhkan penguatan kolaborasi, penyaluran informasi, dan penebalan peran politik.
Ditulis oleh: Hanna Tiosenia, Ira Nazliyah, Nadia Larisa
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id