Ilustrasi musik. DOK Freepik
Ilustrasi musik. DOK Freepik

Studi Mengungkap Musisi Menunjukkan Respons Berbeda Saat Merasakan Sakit Tak Seperti Non-musisi

Renatha Swasty • 26 September 2025 20:04
Jakarta: Penelitian menunjukkan belajar memainkan alat musik adalah aktivitas yang sangat baik untuk otak. Baru-baru ini, penelitian menemukan musisi tidak merasakan sakit seperti mereka yang bukan pemain musik. 
 
Dilansir dari laman sciencealert.com, Rasa sakit memicu beberapa reaksi di tubuh dan otak, mengubah perhatian dan pikiran kita, serta cara bergerak dan berperilaku. Misalnya, bila Anda menyentuh wajan panas, rasa sakit membuat Anda menarik tangan sebelum terbakar parah.
 
Rasa sakit juga mengubah aktivitas otak. Rasa sakit biasanya mengurangi aktivitas di korteks motorik, area otak yang mengendalikan otot, yang membantu mencegah Anda menggunakan bagian tubuh yang terluka secara berlebihan.

Reaksi-reaksi ini membantu mencegah kerusakan lebih lanjut saat Anda terluka. Dengan cara ini, rasa sakit merupakan sinyal perlindungan yang membantu kita dalam jangka pendek. 
 
Namun, bila rasa sakit berlanjut dalam waktu lebih lama dan otak terus mengirimkan sinyal “jangan bergerak” terlalu lama, hal-hal bisa menjadi buruk.
 
Misalnya, kalau Anda terkilir pergelangan kaki dan berhenti menggunakannya selama berminggu-minggu, hal ini dapat mengurangi mobilitas Anda dan mengganggu aktivitas otak di daerah yang terkait dengan pengendalian rasa sakit. Hal ini dapat meningkatkan penderitaan dan tingkat rasa sakit dalam jangka panjang.
 
Penelitian juga menemukan bahwa rasa sakit yang persisten dapat menyusutkan apa yang disebut “peta tubuh” otak, ini adalah tempat otak kita mengirim perintah tentang otot mana yang harus bergerak dan kapan, dan penyusutan ini terkait dengan rasa sakit yang lebih parah.
 
Namun, meskipun jelas beberapa orang mengalami nyeri lebih parah saat peta tubuh otak mereka menyusut, tidak semua orang terpengaruh dengan cara yang sama. Beberapa orang dapat menangani nyeri dengan lebih baik, dan otak mereka kurang sensitif terhadapnya. Para ilmuwan masih belum sepenuhnya memahami mengapa hal ini terjadi.

Musisi dan rasa sakit

Assistant Professor, Aarhus University, Anna M. Zamoranom, meneliti apakah pelatihan musik dan semua perubahan otak yang dihasilkannya dapat memengaruhi cara musisi merasakan dan mengatasi rasa sakit. 
 
Untuk melakukannya, tim sengaja menimbulkan rasa sakit pada tangan selama beberapa hari, baik pada musisi maupun non-musisi. Ini untuk melihat apakah ada perbedaan dalam cara mereka merespons rasa sakit tersebut.
 
Untuk meniru rasa sakit otot secara aman, peneliti menggunakan senyawa bernama faktor pertumbuhan saraf. Ini adalah protein yang secara normal menjaga kesehatan saraf, tetapi ketika disuntikkan ke otot tangan, ia menyebabkan rasa sakit selama beberapa hari, terutama bila menggerakkan tangan. Namun, ini aman, sementara, dan tidak menyebabkan kerusakan.
 
Baca juga: Ketukan Irama Musik Ternyata Bisa Mengubah Cara Kerja Otak, Ini Buktinya 

Kemudian, peneliti menggunakan teknik yang disebut stimulasi magnetik transkranial (TMS) untuk mengukur aktivitas otak. TMS mengirimkan pulsa magnetik kecil ke otak. 
 
Peneliti menggunakan sinyal-sinyal ini untuk membuat peta bagaimana otak mengendalikan tangan, yang dilakukan untuk setiap orang yang ikut serta dalam studi ini.
 
Tim membuat peta tangan ini sebelum suntikan nyeri, lalu mengukurnya lagi dua hari kemudian dan delapan hari kemudian, untuk melihat apakah nyeri mengubah cara otak bekerja.
 
Ketika dibandingkan otak musisi dan non-musisi, perbedaannya sangat mencolok. Bahkan, sebelum menimbulkan nyeri, musisi menunjukkan peta tangan yang lebih terperinci di otak, dan semakin banyak jam yang mereka habiskan untuk berlatih, semakin terperinci peta tersebut ditemukan.
 
Setelah rasa sakit diinduksi, para musisi melaporkan mengalami ketidaknyamanan yang lebih sedikit secara keseluruhan. Sementara itu, peta tangan di otak non-musisi menyusut setelah hanya dua hari rasa sakit. 
 
Peta di otak musisi tetap tidak berubah, secara mengejutkan, semakin banyak jam latihan yang mereka lakukan, semakin sedikit rasa sakit yang mereka rasakan.
 
Ini adalah studi kecil dengan hanya 40 peserta, tetapi hasilnya jelas menunjukkan otak musisi merespons nyeri secara berbeda. Latihan mereka tampaknya memberikan semacam pelindung terhadap efek negatif biasa, baik dalam seberapa banyak nyeri yang mereka rasakan maupun dalam cara area motorik otak mereka bereaksi.
 
Tentu saja, ini tidak berarti musik adalah obat untuk nyeri kronis. Namun, ini menunjukkan latihan dan pengalaman jangka panjang dapat membentuk cara memandang nyeri. 
 
Ini menarik karena mungkin membantu memahami mengapa beberapa orang lebih tahan terhadap nyeri ketimbang yang lain, serta bagaimana dapat merancang pengobatan baru untuk mereka yang hidup dengan nyeri.
 
Tim kini melakukan penelitian lebih lanjut tentang nyeri untuk menentukan apakah latihan musik juga dapat melindungi dari perubahan perhatian dan kognisi selama nyeri kronis. Berdasarkan hal ini, peneliti berharap dapat merancang terapi baru yang “melatih ulang” otak pada orang yang menderita nyeri persisten.  
 
"Bagi saya, ini adalah bagian yang paling menarik: gagasan bahwa sebagai musisi, apa yang saya pelajari dan latih setiap hari tidak hanya membuat saya lebih mahir dalam suatu keterampilan, tetapi juga dapat secara harfiah merestrukturisasi otak saya dengan cara yang mengubah cara saya mengalami dunia, bahkan hal yang sesederhana seperti nyeri," kata Anna. 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan