Survei dilakukan pada Februari 2021 dan melibatkan 601 responden. Terdapat 49,9 persen dari total responden menolak untuk menjadi penerima vaksin covid-19 pertama.
Berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi terhadap vaksin covid-19 didapati mayoritas masyarakat Indonesia yang berpendidikan tinggi (diploma-S3) menganggap vaksin covid-19 penting. Vaksin juga dinilai baik untuk diri sendiri maupun keluarga. Sementara, jenis atau merek vaksin yang paling banyak dirujuk yaitu Sinovac (41,8 persen), Pzifer, dan Biofarma.
"Masyarakat menilai vaksin harus bersifat wajib, terlepas dari gratis atau tidaknya," kata peneliti CfDS Amelinda Pandu Kusumaningtyas mengutip siaran pers UGM, Rabu, 24 Maret 2021.
Baca: Vaksin Nusantara Sesuai Etika Riset? Begini Penjelasan Guru Besar Unpad
Ia mengatakan, masih terdapat hampir 40 persen masyarakat berpendidikan tinggi tidak setuju dengan kebijakan wajib vaksin covid-19. Hal ini secara langsung berdampak pada persepsi negatif masyarakat yang menyurutkan kesediaan untuk menerima vaksin.
Amelinda menyebut hasil penelitian CfDS memperlihatkan sebagian besar masyarakat Indonesia pengguna layanan digital mengakses informasi covid-19 melalui lini media sosial. Sebanyak 81,5 persen di antaranya masih bersinggungan dengan berbagai bentuk postingan yang memuat teori konspirasi.
Menurutnya, mayoritas masyarakat masih percaya dengan teori konspirasi elite global yang menyatakan bahwa vaksin covid-19 dibuat demi keuntungan korporasi farmasi, ataupun untuk memasukan microchip dalam tubuh manusia.
"Belum lagi ada masyarakat Indonesia juga masih percaya dengan paparan informasi hoaks bila kesembuhan pasien bisa dengan kalung anti covid-19," ucapnya.
Dalam penelitiannya, Amelinda mengatakan informasi media sosial sangat berpengaruh terhadap opini masyarakat Indonesia. Terlepas dari latar belakang yang dimiliki, masih saja terdapat masyarakat yang terpapar pusaran berita palsu ataupun teori konspirasi yang beredar di sosial media.
Baca: Epidemiolog Unair: Strain B117 Berpotensi Tingkatkan Kasus di Klaster Keluarga
Dalam penelitian yang terkait analisis teks media sosial, sebaran hoaks dan konspirasi terkait covid-19, CfDS juga melakukan analisis yang mendalam dengan memanfaatkan data dari cuitan dan postingan warganet di berbagai platform sosial media.
Peneliti CfDS lainnya, Iradat Wirid menyebut dari pengambilan data sejak Maret 2020-Februari 2021 terdapat lebih dari 18.400 cuitan di Twitter yang memuat 'Tolak Vaksin' atau 'Anti Vaksin'.
Bersamaan dengan unggahan masyarakat tersebut, katanya, lebih dari 1.000 cuitan merujuk pada bantahan terhadap penolakan vaksin covid-19 Sinovac. Sementara lebih dari 4.000 cuitan mengandung kata 'PDIP', 'rakyat', 'PKI' dan 'Pemerintah' sebagai bentuk penolakan balik unggahan Anggota DPR Ribka Tjiptaning yang tidak mendukung vaksin covid-19.
"Sama halnya pada platform berbagi video Youtube, terdapat 11 video teratas yang membahas mengenai penolakan Ribka Tjiptaning, dengan penonton lebih dari 13 juta pengguna dan 62.000 komentar," ungkapnya.
Berbeda dengan Twitter, kata Iradat, pada kolom komentar Youtube di video tersebut lebih banyak memuat dukungan terhadap anggota DPR Ribka Tjiptaning untuk menolak vaksin covid-19. Sementara, di platform Instagram, terdapat berbagai akun yang dengan jelas menampilkan video atau foto dengan wacana konspirasi.
Salah satunya: 'Injeksi MRNA Moderna adalah sistem operasi yang dirancang untuk memprogram manusia dan meretas fungsi biologisnya', hingga upaya mengajak ‘apa yang perlu kita lakukan setelah menolak vaksin?’.
Iradat menambahkan bahwa platform dengan basis audio dan visual (Instagram dan Youtube) lebih banyak digunakan untuk membangun wacana penolakan atas vaksin covid-19, dan warganet akan ikut berkomentar sejalan dengan isi konten tersebut. Berdasarkan survei dan analisis mendalam yang dilakukan CfDS melihat informasi media sosial di berbagai platform berpengaruh terhadap pandangan masyarakat/warganet.
"Pengaruh tersebut membentuk persepsinya dalam keikutsertaan program vaksinasi Covid-19 pemerintah," terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News