Tagar yang bermunculan ini mencerminkan keluhan atas berbagai kasus kejahatan jalanan atau klithih di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dosen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Kustiningsih menuturkan, fenomena klithih tidak bisa lepas dari konteks sejarah. Berbicara klitihih pasti tidak lepas dari sejarah genk-genk anak SMA zaman dahulu di Yogjakarta.
"Secara histori pasti terkait, artinya bisa jadi klithih itu muncul lagi. Ini bisa dimaknai sebagai bagian dari kenakalan remaja, dan jangan heran di masa depan pasti akan muncul kembali," ujar Wahyu mengutip siaran pers UGM, Rabu, 5 Januari 2022.
Baca: Metode Sunat Klem, Tanpa Jahitan dan Perban
Wahyu Kustiningsih menyebut klithih merupakan label tindakan dan karena terjadi di Yogjakarta maka lebih khas dengan nama klitihih walaupun sebenarnya secara teori sebagai bagian dari kenakalan remaja. Makanya, untuk memberantas butuh upaya yang lebih.
Menurut dia, sekadar menangkap pelakunya dan kemudian selesai urusan tidaklah cukup. Karena permasalahan ini merupakan kenakalan remaja, maka ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan.
"Jika ini kenakalan remaja maka ini menyangkut soal exercise power. Jika ini dianggap sebagai kenakalan remaja maka salah satu tujuannya adalah untuk recognisi, anak muda itu kan khas dengan pencarian jati diri dan sebagainya," ucapnya.
Ada banyak penyebab munculnya klithih di Yogyakarta yang melibatkan anak-anak remaja. Salah satunya semakin terbatasnya ruang publik sebagai arena ekspresi.
Jika dahulu ruang publik begitu luas maka kini berkurang cukup banyak. Belum lagi persoalan pandemi yang terjadi saat ini dimana orang harus berjarak dan akhirnya memaksa orang mau tidak mau harus beralih dengan teknologi untuk berinteraksi dan lain-lain.
"Artinya peluang-peluang dari anak muda ini harus diperhatikan agar mereka bisa berinteraksi dan sebagainya guna bisa mengurangi kecenderungan melakukan aktivitas-aktivitas seperti klithih," katanya.
Wahyu melihat aksi klithih dari perspektif sosial bukan sekadar yang dilakukan anak muda dalam sebuah genk, tapi sebagai fenomena yang berafiliasi dengan politik. Ia menekankan, aksi klithih tidak lepas dari sejarah panjang di Yogyakarta dengan dinamika anak muda dan genk-genk yang sampai sekarang masih ada dan kemungkinan semerbak kembali di tahun 2024.
Di tengah krisis ekonomi yang terjadi, Wahyu tidak menampik kenyataan ada orang akan memanfaatkan fenomena klithih untuk melakukan tindakan kriminal, seperti perampokan, pembacokan dan sebagainya yang mengarah pada perampasan materi (ekonomi). Jika ini yang terjadi maka pendekatan yang dilakukan akan berbeda.
"Kalau kriminal jelas ditangkap, kemudian dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Kalau seperti ini jauh lebih mudah dalam penanganannya karena cukup dengan memperbanyak CCTV, ciptakan efek panicticon, seperti di dalam penjara orang tidak bisa bertindak macam-macam karena adanya banyak kamera untuk mengawasi," terangnya.
Baca: Omicron Datang, Ini yang Harus Dilakukan Menurut Pakar UGM
Wahyu menambahkan, fenomena klithih sebagai bagian dari dinamika orang muda yang tidak bisa lepas dari konteks sejarah Jogja dan dalam penangananannya harus memerlukan usaha yang lebih (ekstra). Karena ciri klithih melukai tetapi tidak merampas.
Ia menyebut, melukai untuk eksistensi semacam ini lebih sulit ditangani, karena tidak merampas. Mereka pun melakukan koordinasi tidak harus bertemu, hanya membangun gerakan melalui media sosial dan langsung bertemu di lokasi untuk eksekusi.
"Ini agak susah yang kriminal jejaring ideologinya tidak sekuat genk-genk yang tanpa merampas. Beberapa kali peristiwa penyabetan hanya dilakukan satu orang pelaku, dengan motor baru dari orang tuanya yang mendapat warisan, terus bergabung dengan genk, seperti itu kan persoalan eksistensi," ungkapnya.
Wahyu menyayangkan jika ada anak nakal di sebuah lingkungan bukannya dirangkul tetapi justru melabeli anak tersebut sebagai anak nakal. Akibatnya mereka pun merasa teralineasi dari komunitas dan kemudian membangun komunitas sendiri dimana mereka bisa eksis.
Dalam kondisi seperti ini, katanya, jika ingin mengurangi maka masyarakat harus berperan. Ada banyak cara bisa dilakukan, misalnya dari komunitas anak muda melalui karang taruna atau komunitas ibu-ibu PKK dan lain-lain.
"Melakukan gerakan merangkul bersama secara lebih masif, ibu PKK membahas bagaimana pengasuhan anak zaman sekarang sebagai upaya mengurangi risiko anak muda melakukan tindakan negatif. Karang Taruna melalui kegiatan positif dan produktif yang bisa mengakomodir anak muda demikian juga bapak-bapak bahas isu pengasuhan dan lain-lain,"urainya.
Wahyu menyayangkan kondisi saat ini, beban orang tua juga sangat luar biasa. Tidak sedikit dari mereka memiliki beban ekonomi karena PHK dan sebagainya. Belum lagi adanya kebutuhan yang semakin meningkat sehingga tidak berkesempatan melakukan tindakan yang ideal melalui komunitas untuk menyelamatkan generasi muda.
Apalagi dengan hadirnya teknologi informasi di era pandemi memaksa orang untuk bertransformasi ke masyarakat digital. Implikasinya adalah pada konsumsi dan produksi dan salah satu yang paling kentara muncul adalah invidualisme yang sangat tinggi.
"Ini tentunya juga berlaku bagaimana mereka berelasi sosial, artinya tidak heran jika mereka kemudian melihat fenomena klithih bukan menjadi bagian dari tugasnya. Bisa jadi seperti itu karena individualisme tinggi," paparnya.
Baca: Wajib Tahu, 4 Karakteristik Omicron yang Berbeda dari Varian Lain
Makanya, tantangan ke depan adalah menciptakan komunalitas di masyarakat dengan berbagai aktivitas agar partisipasi mereka untuk menjaga sesama warga meningkat. Misalnya, Poskamling di masa pandemi yang mulai berkurang diaktifkan kembali agar anak muda yang suka nongkrong tidak jelas diajak pada aktivitas menjaga keamanan lingkungan.
Hal ini dinilai bisa membuat anak muda lebih berkontribusi positif kepada masyarakat. Sementara, di saat ronda para sesepuh masyarakat bisa secara informal menyampaikan program-program bagus terkait pembangunan lingkungan atau desa.
"Jadi, banyak cara yang bisa dilakukan dengan memperkuat komunalitas, dan dalam komunalitas yang berupa kehidupan bersama itu kan sebenarnya nyawanya orang jawa ada di situ," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News