Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Menelisik Fenomena Klithih, Kejahatan Jalanan Remaja di Yogyakarta

Arga sumantri • 05 Januari 2022 11:14

Jika dahulu ruang publik begitu luas maka kini berkurang cukup banyak. Belum lagi persoalan pandemi yang terjadi saat ini dimana orang harus berjarak dan akhirnya memaksa orang mau tidak mau harus beralih dengan teknologi untuk berinteraksi dan lain-lain.
 
"Artinya peluang-peluang dari anak muda ini harus diperhatikan agar mereka bisa berinteraksi dan sebagainya guna bisa mengurangi kecenderungan melakukan aktivitas-aktivitas seperti klithih," katanya.
 
Wahyu melihat aksi klithih dari perspektif sosial bukan sekadar yang dilakukan anak muda dalam sebuah genk, tapi sebagai fenomena yang berafiliasi dengan politik. Ia menekankan, aksi klithih tidak lepas dari sejarah panjang di Yogyakarta dengan dinamika anak muda dan genk-genk yang sampai sekarang masih ada dan kemungkinan semerbak kembali di tahun 2024.

Di tengah krisis ekonomi yang terjadi, Wahyu tidak menampik kenyataan ada orang akan memanfaatkan fenomena klithih untuk melakukan tindakan kriminal, seperti perampokan, pembacokan dan sebagainya yang mengarah pada perampasan materi (ekonomi). Jika ini yang terjadi maka pendekatan yang dilakukan akan berbeda.
 
"Kalau kriminal jelas ditangkap, kemudian dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Kalau seperti ini jauh lebih mudah dalam penanganannya karena cukup dengan memperbanyak CCTV, ciptakan efek panicticon, seperti di dalam penjara orang tidak bisa bertindak macam-macam karena adanya banyak kamera untuk mengawasi," terangnya.
 
Baca: Omicron Datang, Ini yang Harus Dilakukan Menurut Pakar UGM
 
Wahyu menambahkan, fenomena klithih sebagai bagian dari dinamika orang muda yang tidak bisa lepas dari konteks sejarah Jogja dan dalam penangananannya harus memerlukan usaha yang lebih (ekstra). Karena ciri klithih melukai tetapi tidak merampas.
 
Ia menyebut, melukai untuk eksistensi semacam ini lebih sulit ditangani, karena tidak merampas. Mereka pun melakukan koordinasi tidak harus bertemu, hanya membangun gerakan melalui media sosial dan langsung bertemu di lokasi untuk eksekusi.
 
"Ini agak susah yang kriminal jejaring ideologinya tidak sekuat genk-genk yang tanpa merampas. Beberapa kali peristiwa penyabetan hanya dilakukan satu orang pelaku, dengan motor baru dari orang tuanya yang mendapat warisan, terus bergabung dengan genk, seperti itu kan persoalan eksistensi," ungkapnya.
 
Wahyu menyayangkan jika ada anak nakal di sebuah lingkungan bukannya dirangkul tetapi justru melabeli anak tersebut sebagai anak nakal. Akibatnya mereka pun merasa teralineasi dari komunitas dan kemudian membangun komunitas sendiri dimana mereka bisa eksis.
 
 
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan