Menurut Wibowo, diperlukan parameter yang sama untuk menyebut sebuah lembaga sebagai pesantren. Undang-undang pesantren menurut Wibowo telah menyatakan bahwa sebuah lembaga dapat disebut pesantren jika memenuhi apa yang disebut dengan arkanul ma’had (rukun pesantren).
“Maka ketika muncul 198 yang terafiliasi, itu perlu dilihat lagi. Gandeng-gandenglah Kemenag, untuk melihat lagi apakah betul lembaga tersebut (adalah) pesantren,” ujar Wibowo saat menjadi narasumber dalam “Ngobrolin Pesantren dengan Media”, di Jakarta, Kamis, 3 Februari 2022.
Baca juga: Kemenag Telusuri Izin 198 Pesantren yang Terafiliasi Kelompok Teroris
Menurut Wibowo, sumber informasi yang kurang jelas itu dapat menjadi distorsi dan menyebabkan kekhawatiran di masyarakat. Menurut Wibowo, ada lima hal yang termasuk dalam arkanul ma’had, yaitu kiai yang menjadi figur teladan sekaligus pengasuh yang membimbing santri, santri mukim, pondok atau asrama, masjid atau musala, serta kajian kitab kuning.
“Jadi misalnya sebuah lembaga yang menyebut dirinya pesantren, tapi ternyata gak ada kajian kitab kuning, maka tidak terpenuhi rukunnya. Itu tidak bisa disebut pesantren,” ujar Wibowo.
Selain itu, lanjutnya pesantren juga mensyaratkan dimilikinya ruhul ma’had. Ini adalah spirit yang mesti dimiliki pesantren. “Salah satunya mengakui Pancasila dan NKRI. Kalau ini tidak punya, jelas tidak bisa disebut pesantren,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News