Ilustrasi MBG. Foto: IG @disdikdki
Ilustrasi MBG. Foto: IG @disdikdki

Dosen UGM Sebut Siswa Tak Punya Kemampuan Deteksi Makanan MBG Tak Layak Konsumsi

Renatha Swasty • 03 Oktober 2025 19:18
Jakarta: Kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) masih tertus terjadi di berbagai daerah. 
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Univeristas Gadjah Mada (UGM), Sri Raharjo, meminta siswa yang menerima makanan tak dibebankan untuk mengenali makanan layak dimakan atau tidak. 
 
Sri mengatakan kemampuan siswa sebatas menggunakan indera penciuman atau visual hingga tekstur dari makanan. “Padahal persoalan pangan yang tidak aman itu tidak selalu dibersamai dengan tanda-tanda katakan pembusukan gitu ya,” kata Sri dikutip dari laman ugm.ac.id, Jumat, 3 Oktober 2025. 
 
Menurutnya, indera penciuman manusia hanya dapat digunakan sebagai proteksi pertama. Potensi bahaya atau tidaknya, tidak dapat terdeteksi, seperti aroma, rasa, dan tekstur makanan karena bisa nampak normal secara visual. 

Sementara itu, potensi bahaya dapat terletak pada bahan baku yang terkontaminasi bakteri patogen yakni bakteri yang menyebabkan sakit. Sebab, ada bakteri yang sifatnya merusak, membusukkan makanan. 
 
"Dia tidak menyebabkan sakit dan dia berarti mudah dimatikan dengan panas sedangkan untuk bakteri yang menyebabkan sakit yang disebutkan bakteri patogen itu mungkin jumlahnya tidak perlu banyak, tapi sudah bisa menimbulkan sakit,” jelas dia. 
 
Kehadiran bakteri patogen dalam makanan tidak selalu dibersamai dengan aroma atau rasa yang tidak enak. Dalam kasus keracunan massal di sejumlah sekolah di Indonesia, kata Sri,  diperkirakan terdapat potensi bahaya yang memang tidak mampu dideteksi oleh siswa. 
 
Baca juga: Guru Diminta Mencicipi MBG, P2G: Pekerjaan Guru Mengajar, Bukan Mempertaruhkan Keselamatan 

“Nah, ketika siswa dihadapkan dengan masakan yang normal-normal saja, kelihatannya normal maka kan tidak ada masalah untuk terus berlanjut mengkonsumsi dan itu bukan hanya satu atau dua orang siswa, banyak sekali,” ujar dia. 
 
Selain itu, reaksi keracunan dari setiap kasus berbeda-beda. Tidak semua bereaksi langsung dengan memuntahkan makanan. Reaksi bisa muncul kapan saja dan tidak dalam bentuk muntahan.
 
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM ini  mendesak perlu ada perhatian khusus terhadap proses pengolahan hingga pengemasan makanan untuk mengantisipasi terjadinya kasus keracunan pada menu makanan MBG. Selain itu, perlu diperhatikan juga waktu pengolahan hingga makanan dikonsumsi siswa. 
 
Bahkan, perlu diruntut satu per satu dari isi tray makanan. “Dalam satu tray makanan yang macam-macam itu, kira-kira yang berkontribusi pada keracunan tadi itu dimana? Nasi, lauk, atau sayuranya kah? gitu kan? Dan nanti juga diperiksa dalam proses penyiapannya,” papar dia. 
 
Sri menyebut salah satu menu di MBG yang memiliki potensi besar menyebabkan keracunan adalah lauk. Pengolahan lauk memerlukan waktu dan pemanasan yang cukup agar dapat mematikan atau mengurangi bakteri di bahan mentahnya. 
 
Sementara itu, terdapat keterbatasan waktu, alat, hingga Sumber Daya Manusia dari pihak penyedia MBG. “Terpenting, pada pengadaan bahan mentahnya, bahan segarnya entah itu daging, ikan atau sayurannya itu, usahakan memang kondisinya bersih cemarannya dan belum tinggi," ujar dia. 
 
Selain itu, kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) perlu diperhitungkan kembali. Pasalnya, target yang dipatok pemerintah untuk setiap SPPG memenuhi kurang lebih 3.000 pack MBG terlihat melebihi kapasitas satu dapur umum. Sehingga, kontrol terhadap makanan yang dipersiapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan