Di saat bersamaan pemerintah juga tengah membangun Sekolah Rakyat. Sekolah ini ditujukan untuk membantu pelajar tidak mampu khususnya siswa yang masuk kelompok miskin ekstrem, agar dapat bersekolah secara gratis dan berkualitas.
Namun Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji meminta pemerintah berhati-hati, karena kedua program ini berpotensi memunculkan polemik.
Menurut Ubaid, keduanya dapat memunculkan stigmatisasi atau pelabelan atas dua sekolah tersebut.
"Memunculkan labelisasi dan stigmatisasi yang negatif. Penamaan "sekolah rakyat untuk anak miskin" ini tentu dapat menciptakan labelisasi dan stigmatisasi negatif terhadap siswa yang belajar di sana," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Kamis 16 Januari 2025.
Kata dia, akan muncul kesenjangan antara siswa yang bersekolah di SMA Unggulan Garuda dengan Sekolah Rakyat. Yang bersekolah di Sekolah Rakyat terbilang berada di sekolah kelas dua.
"Mereka pasti dianggap sebagai siswa “kelas dua” atau tidak sebaik siswa di sekolah unggulan. Stigma ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademis siswa," sambungnya.
| Baca juga: Sejarah Sekolah Rakyat di Zaman Penjajahan Jepang, Bakal Kembali 'Dihidupkan' Prabowo |
Selian itu stigma tersebut juga bisa berpengaruh kepada kehidupan sosial siswa. Di mana ada potensi diskriminasi yang terjadi.
"Serta persepsi teman sebaya dan masyarakat terhadap mereka. Stigmatisasi ini akan memperkuat stereotip dan bias yang merugikan, dan semakin memarjinalkan kelompok anak miskin yang sudah rentan dan memperpetuasi siklus diskriminasi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
