"Kita sedang melakukan studi multiyears dan sekarang kita sudah memasuki tahun kedua, mudah-mudahan bisa melanjutkan sampai lima tahun itu, dan juga kita sedang mengembangkan atau mengusulkan semacam lembaga untuk menanganinya," kata Irwanda
dikutip dari laman brin.go.id, Kamis, 1 Agustus 2024.
Irwanda menjelaskan penanganan bencana bukan hanya tantangan yang harus dikelola, tetapi juga esensial dalam pembangunan ekonomi. Dia menyebut setiap tahun, bencana alam menghancurkan nilai aset hingga ratusan miliar dolar AS secara global, dengan dampak yang lebih parah bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Anggaran yang terbatas mengharuskan pemerintah Indonesia tidak hanya membangun infrastruktur baru, seperti sekolah, jembatan, dan bandara, tetapi juga rekonstruksi pasca bencana.
Irwanda menyoroti situasi di Cianjur, sebuah kota kecil dekat Puncak, yang menjadi contoh nyata dampak bencana terhadap masyarakat. Temuan penelitian menunjukkan 70 persen pengungsi berasal dari kelompok rentan yang kesulitan membayar biaya rekonstruksi rumah.
Irwanda juga mengulas model pendanaan bencana di berbagai negara, menyebut Italia dan Tiongkok yang dominan dalam pembiayaan publik, serta kerja sama antara aktor publik dan swasta di Uni Eropa, Zimbabwe, dan Turki. Pengalaman ini digunakan untuk menyusun rekomendasi kebijakan bagi Indonesia.
Irwanda menyarankan beberapa langkah untuk meningkatkan peran pembiayaan risiko bencana di Indonesia. Antara lain mengembangkan kemitraan antara sektor swasta dan pemerintah, memperluas jangkauan produk asuransi, dan menerapkan reformasi pajak asuransi.
Dia juga menekankan pentingnya pengaturan kewajiban bersama, upaya mitigasi, serta restrukturisasi dana penampung bencana agar lebih fleksibel dan responsif. Irwanda menyebut delapan rekomendasi utama yang telah disusun untuk meningkatkan peran pembiayaan risiko bencana di Indonesia.
Pertama, mengembangkan kemitraan Swasta-Pemerintah untuk mendidik masyarakat tentang nilai asuransi melalui kerja sama antara sektor swasta dan pemerintah. Kedua, mendorong sektor asuransi untuk memperluas produk asuransi liabilitas dan reasuransi.
Ketiga, pihaknya mendorong inovasi masyarakat melalui forum rutin antara industri asuransi dan pemerintah. BRIN sendiri telah mengadakan konferensi di Yogyakarta yang melibatkan pakar industri, akademisi, dan pejabat terkait, dan berencana melanjutkannya tahun depan.
Keempat, Irwanda mengusulkan agar sebagian dari premi asuransi dimasukkan ke dalam pajak, meskipun ini kontroversial dan memerlukan diskusi lebih lanjut. Temuan saat pemulihan ekonomi pasca gempa di Cianjur menunjukkan harapan masyarakat terhadap pemerintah sangat tinggi, namun perilaku menabung yang rendah dan keengganan berpartisipasi dalam asuransi bencana memperburuk keadaan.
"Masyarakat dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi tidak mempercayai perusahaan asuransi, sedangkan mereka yang berpendapatan menengah memiliki pengetahuan terbatas tentang asuransi, dan yang berpendapatan rendah tidak mampu membayar premi," jelas dia.
Kelima, Irwanda menekankan agar regulasi pendanaan berkesinambungan. Hal ini untuk memastikan regulasi yang adil untuk layanan darurat dengan alokasi dana yang cukup besar. Keenam, pengaturan kewajiban bersama: menetapkan prasyarat bagi masyarakat sebelum menerima bantuan dari pemerintah.
Ketujuh, pihaknya mengusulkan untuk mengemas kebijakan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam pencegahan dan mitigasi bencana serta melibatkan CSR. Kedelapan, membuat dana penampung bencana lebih fleksibel dan responsif, serta melibatkan perusahaan asuransi lebih aktif.
Baca juga: BRIN Bakal Fasilitasi Pendanaan Startup Berbasis Riset hingga Rp300 Juta Per Tahun |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News