Bangunan roboh akibat gempa di Mamuju, Sulbar. Foto: AFP.
Bangunan roboh akibat gempa di Mamuju, Sulbar. Foto: AFP.

Dilema Penanganan Bencana di Tengah Pandemi

Arga sumantri • 21 Januari 2021 11:29
Yogyakarta: Penanganan bencana di era pandemi menjadikan tantangannya kian berlipat. Penanganan memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang jauh lebih banyak dibandingkan kondisi bencana saat tidak pandemi covid-19.
 
Demikian yang disampaikan Alumnus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) dari Minat utama Manajemen Rumah Sakit (MMR) Joko Murdiyanto. Ia mengaku pernah ikut serta dalam penanganan gempa di Bantul, banjir Jakarta, gempa Padang, Palu, sampai Jalur Gaza.
 
"Itu sangat-sangat berbeda karena ada dua kondisi yang sangat tidak mudah untuk pengendalian pengelolaan di lapangan," ujar Joko mengutip siaran pers UGM, Kamis, 21 Januari 2021.

Mengamati kondisi lapangan pada gempa di Sulawesi Barat, Joko menuturkan bencana yang terjadi di Indonesia saat ini lebih rentan karena ada dua ancaman, gempa dan pandemi. Hal ini menjadikan kapasitas yang dimiliki tentu akan sangat turun.
 
"Kemarin saat rapat koordinasi di Pusat Krisis di Pusat Koordinasi Klaster Kesehatan yang dipimpin Kepala Pusat Krisis sudah disampaikan sebelum gempa saja Gugus Tugas Penanggulangan covid-19 di Sulawesi Barat itu tidak efektif berjalannya. Apalagi pada situasi gempa saat ini," ucap dia.
 
Baca: Akademisi: Mitigasi Bencana Perlu Didukung Tata Ruang Wilayah
 
Ia mencontohkan, di lokasi pengungsian, sebuah tenda yang tingginya tidak sampai 2 meter dihuni sekitar 15 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah sekitar 50 orang. Jika kondisi itu dihitung sesuai standar organisasi kesehatan dunia (WHO) dengan positive rate ada 5, maka jumlah yang positif sudah bisa dikira-kira.
 
 

"Kondisi tenda seperti itu jika merunut definisi revisi 5 Penanggulangan covid-19 sudah tidak kontak fisik lagi, tetapi sudah kontak sangat-sangat erat dan itu harus hati-hati betul," paparnya.
 
Belum lagi soal penanganan gempa bumi yang tidak mudah. Sebab, kata dia, ada titik-titik yang sampai dengan hari kelima dan keenam belum tertangani karena merupakan daerah terpencil. Daerah yang untuk mencapainya harus memakan waktu delapan jam, bahkan ada yang hingga 24 jam.
 
"Kalau kita baca di penanggulangan bencana maka ada lima pihak (penta helixs) yang terlibat, yaitu ada pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dunia usaha dan media. Kelima ini diharapkan terus melakukan koordinasi, kerja sama dan kolaborasi yang sangat bagus, meskipun ini juga tidak mudah di lapangan," terangnya.
 
Baca: Bahas Perangkat Peredam Gempa, Paper UGM Terbaik di Ajang SCESCM
 
Dari beberapa kejadian bencana, Joko menjelaskan relawan yang terlibat dalam penanganan bencana adalah orang-orang yang luar biasa. Dalam kondisi kerja ekstra, para relawan selalu kurang tidur dan makan dengan gizi yang seadanya.
 
Melihat penanganan bencana yang ganda di Sulbar ini, ia menyarankan para relawan agar betul-betul menjaga kesehatan fisiknya. Sebab, dengan kurangnya tidur dan gizi, sangat berpotensi terkena paparan covid-19.
 
"Yang pengen saya tegaskan di sini adalah masalah istirahat. Di beberapa laporan paparan covid-19, salah satu yang menjadi faktor adalah kurangnya istirahat," ujarnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan