Plt. Kepala Disdikpora DIY, Bambang Wisnu Handoyo (BWH) menjelaskan, kebijakan tersebut dirasa memberatkan sekolah dan Pemerintah Daerah. "Lebih baik menerapkan skema seperti 2019. Karena lebih terkontrol. Kebijakan lebih baik dikaji ulang," tegas BWH pada Medcom.id melalui sambungan telepon di Yogyakarta, Rabu, 11 Februari 2020.
Bambang menjelaskan, jika kebijakan itu diterapkan dikhawatirkan akan menambah tugas administrasi sekolah. Padahal saat ini tenaga administrasi di sekolah belum mencukupi.
Ia mencontohkan saat ini kegiatan administrasi di sekolah masih kerap dikerjakan guru. "Yang kemarin saja, guru masih banyak menyambi jadi tenaga administrasi karena tenaga tata usaha kurang. Besok kalau kebijakan baru diterapkan, tugas guru akan tambah banyak," ujarnya.
Bambang juga mendorong pemerintah pusat memberikan solusi atau menyediakan tenaga administrasi tambahan untuk mengurusi beban baru ini. Jika tenaga administrasi di sekolah sudah mumpuni pihaknya siap untuk menjalankan kebijakan ini.
Meski begitu, saat ini Pemda DIY tengah berkoordinasi untuk menyiapkan skema pengawasan mekanisme baru dana BOS ini. Kemendikbud turut mengubah jumlah, frekuensi penyaluran dana BOS dari sebelumnya empat kali menjadi tiga kali setahun.
Penyaluran tahap pertama berjumlah 30 persen pada Januari, tahap kedua 40 persen di bulan April, sementara tahap ketiga 30 persen pada September. Pencairan tiga tahap ini dianggap lebih sederhana dibandingkan penyaluran dengan skema sebelumnya.
Pemerintah juga meningkatkan besaran unit cost dana BOS per peserta didik untuk jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA), masing-masing naik sebesar Rp100.000.
Untuk SD yang sebelumnya Rp800 ribu per siswa per tahun, sekarang menjadi Rp900 ribu per siswa per tahun. Sedangkan SMP dan SMA masing-masing naik menjadi Rp1,1 juta dan Rp1,5 juta per siswa per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News