"Sekarang kalau kita lihat dari peraturan lulusan perguruan tinggi tidak cukup hanya ijazah saja, tapi harus juga punya sertifikat. Sertifikat kompetensi yang dikeluarkan lembaga sertifikasi profesi," ujarnya di Universitas Diponegoro, Semarang, Rabu, 13 Maret 2019.
Mahasiswa yang memiliki sertifikasi kompetensi dinilai lebih siap menghadapi dunia kerja yang serba terkoneksi dengan teknologi. Mahasiswa yang lulus tanpa sertifikat kompetensi, lanjut Nasir, tetap akan memperoleh ijazah namun kategorinya tidak kompeten atau memiliki kompetensi.
Menurut Nasir, sertifikat kompetensi penting untuk dimiliki agar mahasiswa mampu menjadi pelopor wirausaha. Ia mencontohkan pemilik empat unicorn di Indonesia yakni Nadiem Makarim dengan Go-Jek, William Tanuwijaya dengan Tokopedia, Ferry Unardi dengan Traveloka, dan Achmad Zaky dengan Bukalapak mulai merintis semenjak masih mahasiswa.
Mereka mulai dari membuka usaha dengan keuntungan yang awalnya hanya Rp5.000 sampai Rp10 ribu hingga akhirnya mengantongi kapitalisasi aset hingga triliunan rupiah.
"Mahasiswa jangan seperti kutu buku lagi. Entrepreneurship harus kita kembangkan, karena ternyata entrepreneurship kita masih sangat jauh dari ideal," kata dia.
Baca: PTS Lebih Produktif Lahirkan Prodi Kekinian
Senada dengan Nasir, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro mengatakan pergeseran pembentukan keterampilan individu akan terjadi. Pada 2020 keterampilan individu mahasiswa yang penting untuk dimiliki antara lain kemampuan menyelesaikan persoalan kompleks, kemampuan berpikir kritis, kreatif, manajemen sumber daya manusia, mampu berkoordinasi, dan memiliki kecerdasan emosional. Perguruan tinggi dituntut untuk melakukan perubahan untuk mencetak jenis individu tersebut.
"Keberhasilan para mahasiswa tidak hanya berdasarkan kompetensi, tapi juga membutuhkan hard skill dan soft skill," ujarnya.
Untuk mendukung hal tersebut, Nasir pun berencana mengubah sistem perkuliahan. Dari yang awalnya hanya kuliah tatap muka ditambah dengan perkuliahan secara daring.
"Ini sangat penting. Kita bisa belajar dari Hankuk University of Korea untuk mengembangkan ini, mendorong agar sistem pembelajaran kita lebih baik," ungkap Nasir.
Menurut Nasir sistem perkuliahan secara daring sudah dilakukan oleh negara-negara maju seperti Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat. Kanada pun turut serta.
Kendati akan menimbulkan krisis terhadap pemanfaatan dosen, namun ia yakin hal ini dapat menjawab tantangan untuk menyelaraskan sektor pendidikan dengan era revolusi industri 4.0.
"Karena rasio (dosen) sekarang 1:30 untuk sosial dan 1:20 untuk eksakta, dengan online learning akan jadi satu profesor untuk seribu mahasiswa. Bagaimana nanti laboratorium dibangun dengan dilengkapi teknologi seperti virtual reality atau artificial intelegent. Hal-hal inilah yang akan menjadi sangat penting," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News