Dalam literatur sejarah banyak disebutkan tokoh pahlawan nasional pria yang menempati posisi jadi garda terdepan. Tak jarang simbol kekuasaan dan ketangkasan selalu melekat pada mereka.
Namun, di samping perjuangan pahlawan nasional pria, ada beberapa pahlawan nasional dari kalangan wanita. Berikut daftar 10 pahlawan nasional wanita dikutip dari Ensiklopedia Pahlawan Nasional terbitan Direktorat Jenderal Kebudayaan:
10 pahlawan nasional wanita
1. Nyi Ageng Serang (1752-1828)
Nyi Ageng Serang atau Raden Ajeng Kustiah Retno Edi ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden Republik Indonesia No. 094/TK/Tahun 1974. Ia lahir di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara Solo pada 1752.Ayahnya adalah Bupati Serang yang selanjutnya diangkat menjadi Panglima Perang oleh Sultan Hamengkubuwono I. Belanda menyerang Desa Serang pasca Perjanjian Gianti tahun 1755.
Nyi Ageng Serang sudah ikut berperang melawan Belanda saat dewasa, tapi dia tertangkap lalu dibawa ke Yogyakarta dan dikembalikan ke Serang. Pada 1825-1830, Nyi Ageng Serang bergabung pasukan Diponegoro. Pasukannya yang tangguh diberikan tugas untuk menjaga kawasan Prambanan.
Saat menjaga Prambanan, dia sudah tua sehingga dibawa dengan tandu. Dia memiliki taktik perang “daun lumbu” atau daun keladi hijau. Pasukannya mengenakan daun itu untuk berkamuflase, kemudian menyerang lawan saat bertemu dalam jarak dekat.
Nyi Ageng Serang meninggal dalam usia 76 tahun pada 1828 dan dimakamkan di Desa Beku, Kulon Progo, Yogyakarta.
2. Martha Khristina Tiahahu (1800-1818)
Perempuan kelahiran Nusa Laut Kepulauan Maluku sekitar tahun 1800 ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden Republik Indonesia No. 012/TK/Tahun 1969. Dia adalah anak sulung Kapitan Paulus Tiahahu.Saat usia 17 tahun, dia sudah mengikuti ayahnya berperang melawan Belanda. Saat peristiwa masuknya Belanda ke benteng Beverdijk pada 10 November 1817, ayahnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati pada 17 November 1817.
Kemudian, Martha Khristina Tiahahu mengumpulkan pasukannya di hutan untuk strategi lebih lanjut. Sayangnya, dia beserta 39 pasukannnya ketahuan dan tertangkap. Dirinya lantas dibawa ke Pulau Jawa untuk dijadikan pekerja kopi. Selama perjalanan di atas kapal dia tak mau berbicara, makan, dan minum.
Kondisinya semakin lemah sehingga membuat dia gugur pada 2 Januari 1818. Jasadnya kemudian disemayamkan di laut Pulau Nuru dan Pulau Tiga.
3. Cut Nyak Dien (1848-1908)
Cut Nyak Dien ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden Republik Indonesia No. 106/Tahun 1964. Ia lahir di Lampadang, Aceh Besar pada 1848. Ayahnya adalah Teuku Nanta Setia Ulebalang VI Mukim, seorang Aceh berdarah Minangkabau.Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga, seorang pejuang Aceh. Pada 1873 terjadi perang dan Belanda berhasil menduduki daerah VI Mukim pada tahun 1875. Suaminya meninggal saat melawan Belanda pada tahun 1878.
Dia bertekad membalaskan kematian suaminya. Selanjutnya ia menikah dengan keponakan ayahnya Teuku Umar pada tahun 1880. Di tangan suami keduanya, wilayah VI Mukim dapat direbut.
Teuku Umar gugur pada tahun 11 Februari 1899. Sejka saat itu Cut Nyyak Dien bergerilya dalam usia 50 tahun. Setelah enam tahun bergerilya, ia akhirnya tertangkap Belanda. Kemudian dirinya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal di sana pada 6 November 1908.
4. Cut Meutia (1870-1910)
Cut Nyak Meutia ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden Republik Indonesia No. 107/Tahun 1964. Ia lahir di Perlak, Aceh pada tahun 1870. Dia adalah panglima Aceh saat melawan Belanda.Teuku Cik Tunong adalah suaminya, dan mereka menyerang regu patroli Belanda di pedalaman Aceh. Cut Meutia sempat dipaksa Belanda untuk menyerah, tapi dia enggan. Akhirnya, suaminya ditangkap dan ditembak Belanda pada Mei 1905.
Kemudian dia menikah lagi sesuai pesan Teuku Cik Tunong dengan Pang Nangru, kawan akrab suami pertamanya. Pada 26 September 1910 terjadi peperangan di Paya Ciciem yang menewaskan Pang Nangru.
Setelah lolos dari serangan itu, Cut Meutia memimpin pasukan dengan jumlah 45 orang bersenjatakan 13 bedil. Anaknya yang bernama Raj Sabil sudah diajak berperang saat usia 11 tahun. Pahlawan ini akhirnya meninggal dalam kepungan pada tahun 1910.
5. Raden Ajeng Kartini (1879-1904)
Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879. Ayahnya adalah Bupati Jepara saat itu. Kartini hanya sekolah sampai SD.Meski hanya lulusan SD, ia memiliki semangat literasi yang sangat kuat. Ia sering membaca majalah dan buku yang mengisahkan kondisi wanita di Eropa yang merdeka. Setelah itu muncul keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah di Jepara.
Ia dikenal sering mengirim surat dengan temannya dari Belanda dan mendapat beasiswa dari sana. Sayangnya, ayahnya memerintahkan Kartini untuk menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang.
Suaminya mendukung cita-cita Kartini untuk mendirikan sekolah, dan diberilah nama “sekolah Kartini” di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan lain-lain.
Kartini meninggal dalam usia 25 tahun. Ia wafat saat melahirkan anak pertamanya pada 17 September 1904. Kumpulan surat-suratnya diterbitkan menjadi buku dengan judul “Door Duisternis tot Lieht” (Habis Gelap Terbitlah Terang. R.A Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden No. 108/TK/Tahun 1964.
6. H. Rasuna Said (1910-1965)
Rasuna Said ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974. Ia lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 14 September 1910. Awalnya ia bergabung organisasi Serikat Rakyat dan menjabat sebagai Sekretaris Cabang.Selanjutnya ia masuk PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia). Partai ini beraliran Islam dan Nasional. Akhirnya, ia menjadi pimpinan pengurus besarnya. Pada tahun 1932 ia dipenjarakan di Semarang. Ia didaulat menjadi pimpinan majalah Menara Puteri.
Pada masa pendudukan Jepang, ia turut mendirikan organisasi Pemuda Nippon Raya di Padang, tapi dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Pasca proklamasi kemerdekaan, dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera mewakili Sumatera Barat.
Setelah itu, dia menjadi anggota Komita Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di samping sebagai anggota Badan Pekerja KNIP. Dia sempat menjadi anggota DPR Republik Indonesia Serikat pada waktu Pengakuan Kedaulatan.
Puncak kariernya, ia menjadi anggota DPR Sumatera dan pada tahun 1959 dirinya diangkat menjadi anggota DPA. Rasuna Said meninggal di Jakarta 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
7. Nyi Ahmad Dahlan (1872-1946)
Nyi Ahmad Dahlan yang memiliki nama asli Siti Walidah ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 042/TK/Tahun 1971. Ia lahir di Yogyakarta pada 1872. Dirinya tak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah umum, kecuali mengaji Al-Qur’an dan mendapat pelajaran agama dalam bahasa Jawa berhuruf Arab.Keadilan gender antara lelaki dan perempuan sudah disadari oleh Kyai Ahmad Dahlan sehingga terbentulah Aisyah, sebuah organisasi otonom dari Muhammadiyah yang dibentuk 1918. Aisyah ini selanjutnya dilimpahkan kepengurusannya ke istrinya, Nyi Ahmad Dahlan.
Nyi Ahmad Dahlan sangat fasih dan jelas dalam kapasitasnya sebagai pendakwah. Ia sering memimpin kongres Aisyah. Hingga kongres Muhammadiyah ke-23 pada 1934, dia tetap menjabat sebagai pimpinan.
Nyi Ahmad Dahlan juga aktif mendirikan asrama-asrama untuk pelajar putri. Di sana mereka diberi pelajaran agama, kemasyarakatan, dan semangat kebangsaan. Nyi Ahmad Dahlan meninggal di Yogyakarta 31 Mei 1946.
8. Maria Walanda Maramis (1872-1924)
Perempuan kelahiran Kema, kota pelabuhan kecil di Sulawesi Utara pada 1 Desember 1872 iniditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 012/TK/Tahun 1969. Ia bertekad untuk memajukan wanita dengan rumah tangga dan mendidik anak.
Ia sudah menjadi yatim piatu saat usia 6 tahun. Sejak itu, ia ikut pamannya di Airmadidi. Maria hanya sekolah sampai SD di kota kecil itu. Cita-citanya tumbuh subur ketika menikah dengan seorang guru HIS Manado pada 1890.
Suaminya bernama Yoseph Frederik Calusung Walanda membantu mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT) pada Juli 1917. Dalam waktu singkat berdiri cabang-cabang PIKAT di Sangir Takaut, Gorontalo, Poso, Ujung Pandang hingga pulau Jawa, di antaranya Jakarta, Bogor, Malang, Magelang, dan lain-lain.
Ia sempat mendapat halangan berupa biaya, tapi semuanya bisa dilalui secara bertahap. Dia meninggal pada 1924 di Maumbi, Sulawesi Utara.
9. Raden Dewi Sartika (1884-1947)
Raden Dwi Sartika lahir di Cicalengka, Jawa Barat pada 4 Desember 1884. Ayahnya adalah Raden Somanegara, Patih di Bandung. Sayangnya, dia dibuang beserta istrinya ke Ternate karena menentang Pemerintah Hindia Belanda.Dewi Sartika hanya menempuh pendidikan SD. Usia 15 tahun dia tinggal di Bandung. Berkat bantuan dan dorongan kakeknya RAA Martanegara dan Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran maka pada 16 Januari 1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah yang diimpikan. Sekolah itu bernama Sekolah Istri.
Awalnya jumlah murid hanya 20 orang dengan dua ruangan. Mereka menumpang di Kantor Kepatihan Bandung. Muridnya dibekali pelajaran berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam, dan agama.
Tahun 1910 sekolah itu berganti nama menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Sekolah sejenis ini kemudian berdiri juga di Kota Garut, Tasikmalaya, Purwakarta, dan sebagainya. Atas jasanya, ia diangugerahi bintang perak oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tahun 1929 sekolah itu memiliki gedung sendiri. Saat masa perang ia mengungsi ke Cinenan dan meninggal di sana pada 11 September 1947, selanjutnya jasadnya dipindahkan ke Bandung.
Raden Dewi Sartika ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 252/Tahun 1966.
10. Roehana Koeddoes (1884-1972)
Roehana Koeddoes belum lama ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai Surat Menteri Sosial RI No. 23/MS/A/09/2019. Dikutip dari laman stekom.ac.id, Roehana lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada 20 Desember 1884.Dia merupakan bibi dari penyair ulung Indonesia Chairil Anwar. Roehana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir serta sepupu Agus Salim. Dia termasuk wanita cerdas yang tak mengenyam pendidikan formal.
Pada 1905, ia mendirikan sekolah artisanal di Koto Gadang. Selanjutnya, pada usia 24 tahun di tahun 1908, ia menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris.
Pada 1911, dia mendirikan organisasi perempuan bernama Kerajinan Amai Setia dengan spirit mengajarkan keterampilan di luar tugas rumah tangga, seperti membaca tulisan Jawi dan Latin, serta mengelola rumah tangga.
Di Bukittinggi, Roehana mendirikan sekolah bernama Roehana School. Ia mengelolanya tanpa memnita bantuan siapa pun guna menghindari permasalahan.
Dia mengusulkan pembuatan surat kabar tentang perempuan kepada Soetan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe. Akhirnya ia menjadi pemimpin redaksi Soenting Melajoe untuk terbitan pertama pada 10 Juli 1912 sebagai sebuah surat kabar berbahasa Melayu. Dia dibantu putri Soetan Maharadja, Zoebaidah Ratna Djoewita.
Roehana meninggal di Jakarta pada 17 Agustus 1972 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.
Itulah informasi mengenai 10 tokoh pahlawan nasional wanita yang berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia. Semuanya tidak sebatas berjuang dalam perang fisik, tapi juga berjuang dalam mengangkat literasi masyarakat. (Abdurrahman Addakhil)
Baca juga: Jadi Tampilan Google Doodle Hari Ini, Siapakah Lasminingrat? |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id