Anak asal Atambua, Julianus, yang mesti mengubur mimpi kuliah karena UKT mahal. DOK Istimewa
Anak asal Atambua, Julianus, yang mesti mengubur mimpi kuliah karena UKT mahal. DOK Istimewa

UKT Mahal, Julianus Mesti Mengubur Mimpi Kuliah dan Jadi Insinyur

Renatha Swasty • 28 Juli 2023 10:11
Jakarta: Julianus harus mengubur mimpinya melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Hal itu lantaran dia tak mampu membayar uang kuliah tunggal (UKT) di Universitas Cendana (Undana) Kupang, NTT.
 
Hal itu diungkap Staf Khusus Presiden, Billy Mambrasar, dalam diskusi nasional Youth Infrastructure Forum yang diadakan oleh Kemenko Perekonomian. Billy bertemu Julianus
saat berkunjung ke daerah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yakni Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
 
"Anak laki-laki mereka yang baru saja dinyatakan lolos masuk program Sarjana Teknik Sipil di Universitas Cendana, NTT, harus kembali pulang kampung ke Atambua, Belu, menguburkan mimpinya untuk kuliah karena orang tuanya tidak sanggup membayar Uang Kuliah Tunggal atau SPP yang cukup mahal bagi mereka," kata Billy dalam keterangan tertulis, Jumat, 28 Juli 2023.

Julianus bercerita kepada Billy dalam Bahasa Tetun, bahasa yang juga digunakan oleh warga Timor Leste, diminta untuk membayar UKT sebesar Rp3 juta per semester dan dia tidak sanggup membayarnya. Ayahnya yang berprofesi sebagai petani berpenghasilan kurang dari Rp1 juta ditambah dengan ibunya yang tidak memiliki penghasilan tetap.
 
Julianus akhirnya memutuskan pulang kampung dan membantu kedua orang tuanya menjadi petani dan abangnya yang beternak ayam sembari mengubur cita-citanya menjadi seorang insinyur.
 
"Saya sempat memberikan sedikit bantuan uang, akan tetapi bantuan saya mungkin tidak akan cukup untuk kebutuhannya ke depannya,” beber Billy.
 
Saat kunjungan, Billy mengaku, banyak warga mengeluhkan tingginya biaya SPP kampus negeri dan beberapa dari mereka harus melupakan impiannya menyekolahkan anak mereka ke perguruan tinggi. Billy menyebut dia bertemu Julianus-Julianus lain di Aceh, Sulawesi, NTT, Maluku, NTB, dan Papua selama 4 tahun bertugas sebagai Stafsus Presiden dan berkeliling ke 30 Provinsi.
 
"Nasib mereka semua sama, yakni mereka harus menguburkan cita-cita mereka masuk perguruan tinggi karena masalah finansial. Ini alasan utama kenapa jumlah anak-anak Indonesia yang masuk ke Perguruan tinggi sangat rendah," tutur dia.  
 
Billy menuturkan sebagai seorang anak dari daerah terluar, memiliki banyak sekali ketertinggalan di bidang pendidikan. Tingkat masuknya anak muda ke perguruan tinggi di provinsi terluar Indonesia, seperti NTT, Papua, dan Maluku di bawah angka 10 persen.
 
"Masalah utamanya adalah karena masalah ekonomi. Saya ingin bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman di Kemendikbud Ristek, dan Komisi X DPR RI terkait hal ini, dan mencari solusi terbaik, bagi anak-anak bangsa kita," ujar Staf Khusus Presiden RI Bidang Inovasi, Pendidikan, dan Pembangunan Daerah terluar itu.
 
Data BPS pada 2021 dan 2022 menunjukkan kurang dari 11 persen anak-anak Indonesia yang mampu mengakses pendidikan tinggi. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
 
Dia menilai hal ini menjadi hambatan Indonesia untuk menjadi negara maju, sesuai cita-cita Presiden Joko Widodo. Sebab, untuk menjadi negara maju dibutuhkan SDM unggul dan terdidik hingga perguruan tinggi. Billy mengatakan salah satu faktor penghambat anak muda Indonesia daftar masuk perguruan tinggi karena masalah finansial dan tingginya angka UKT.
 
Billy menilai ketika status sebuah perguruan tinggi negeri berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), seharusnya kampus tersebut berkreasi mencari berbagai bentuk pemasukan. Apakah dengan membuat unit usaha milik perguruan tinggi, jasa penyewaan aset, atau berbagai cara lain sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan badan hukum perguruan tinggi.
 
Bukannya bergantung sepenuhnya kepada bayaran UKT atau SPP mahasiswa untuk menutupi kebutuhan operasional kampus. Kebergantungan terhadap UKT akan membebani mahasiswa, utamanya mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah.
 
“Ketika saya berkuliah di perguruan tinggi di luar negeri, kampus tempat saya belajar memperoleh penghasilan untuk menutupi biaya operasional dari caranya memutarkan uang dengan berbagai bentuk usaha, seperti penyewaan aset, menjual hasil penelitian, bermitra dengan perusahaan, dan memanfaatkan dana abadi yang diinvestasikan ke berbagai sektor usaha, dan bukan biaya SPP sebagai satu-satunya sumber pemasukan”, cerita putra Papua pertama yang lulus dari Universitas Harvard di Amerika Serikat ini.
 
Billy berharap tidak banyak lagi anak Indonesia yang nasibnya seperti Julianus, yang harus menguburkan cita-cita karena masalah finansial, termasuk tingginya UKT atau SPP. Billy meminta universitas negeri berbadan hukum BLU, khususnya di daerah dengan basis kemiskinan tinggi, seperti NTT, Papua, dan Maluku tidak membebankan mahasiswa untuk membayar UKT tinggi.
Tetapi, dapat mencari cara lain untuk menutupi kebutuhan operasional dengan berbagai bentuk bisnis sesuai dengan aturan.
 
Baca juga: UKT Dapat Dikoreksi Sewaktu-waktu Menyesuaikan Kemampuan Ekonomi Mahasiswa

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan