Ilustrasi. Dok Humas Unpad.
Ilustrasi. Dok Humas Unpad.

Sejarawan Unpad Beberkan Sejarah Tradisi Kirim Hamper

Arga sumantri • 12 Mei 2021 12:09
Bandung: Jelang Idulfitri, masyarakat Indonesia punya tradisi mengirimkan hantaran yang dikenal dengan sebutan parsel atau hamper kepada kerabat, handai tolan, tetangga, ataupun kepada yang membutuhkan. Selain wujud belas kasih, tradisi ini menjadi bagian dalam sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia.
 
Sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran (Unpad) Fadly Rahman mengemukakan, bila melihat dari sisi historis, tradisi mengirimkan hantaran dipengaruhi oleh dua masa kebudayaan, yaitu prakolonial serta kebudayaan kolonial.
 
"Tradisi ini memang khas menunjukkan kerukunan masyarakat agraris di Nusantara," ujar Fadly, mengutip siaran pers Unpad, Rabu, 12 Mei 2021.

Di masa prakolonial, tradisi mengirimkan hantaran banyak dilakukan masyarakat pada hari yang memiliki momen khusus, seperti ketika hari raya panen hingga hari raya keagamaan. Hantaran diberikan antar tetangga sebagai bentuk ekspresi rasa syukur atas limpahan hasil pangan.
 
Tidak hanya antar tetangga, tradisi ini juga dilakukan masyarakat agraris kepada pihak kerajaan. Di hari raya, rakyat biasa mengirimkan upeti kepada kerajaan berupa makanan dan bahan pangan sebagai bentuk syukur kepada penguasa.
 
Baca: Perguruan Tinggi Diharapkan Segera Siapkan Program Akademik Halal
 
Fadly menuturkan, jenis makanan yang menjadi hantaran di masa prakolonial berupa kudapan tradisional, seperti rengginang, dodol, dan wajit yang beken di kalangan masyarakat lokal. Seiring masa kolonial masuk, tradisi ini tetap dipertahankan oleh masyarakat, tetapi ada dinamika di dalamnya.
 
Fadly menjelaskan, dinamika terlihat dari wujud makanannya. Pada masa ini, kudapan yang berasal dari benua Eropa mulai menjadi hantaran, selain kudapan lokal. Sebut saja jenis kue nastar, kastengel, hingga putri salju.
 
"Dulu kue-kue yang dibuat keluarga Eropa dijadikan hantaran antar kaum priyayi. Masyarakat Muslim kalangan priyayi pada masa lalu itu menerima hantaran dari orang Eropa," paparnya.
 
 

Aneka kue kolonial tersebut tetap eksis menjadi kudapan khas hari raya hingga saat ini berkat resep yang diwariskan turun temurun. Fadly menuturkan, makanan sangat identik dalam perayaan hari raya keagamaan. Pada zaman dahulu, sajian makanan pada hari raya keagamaan bersifat sakral.
 
"Baik Islam, Hindu, dan agama lokal memiliki tradisi yang menempatkan makana sebagai suatu makna simbolis dan sakral," ujarnya.
 
Mengapa sakral? sebab makanan yang disajikan merupakan representasi simbolis dari kondisi geografis masa lalu. Saat itu, masyarakat Nusantara dikenal sebagai masyarakat agraris, sehingga makanan yang dibuat pun diambil dari bahan pangan yang ada.
 
Ia mencontohkan, tradisi ketupat pada hari raya Lebaran banyak dipengaruhi oleh kebudayaan agraris Nusantara. Tradisi ini mengadopsi tradisi masyarakat Hindu-Bali. Ketupat dibuat dari beras dan janur kelapa, dua bahan makanan yang identik dengan sumber pangan di Nusantara sata itu.
 
Baca: 2022, Startup Digital Bakal Jadi Mata Kuliah Wajib
 
Selain itu, tradisi sajian makanan di hari raya atau momen akbar lainnya merupakan satu bentuk pengejawantahan terhadap rasa syukur masyarakat atas karunia dari Yang Maha Kuasa. Hal ini diperkuat dengan analisis yang sudah dilakukan para ahli sejarah sejak masa kolonial.
 
"Mereka (ahli sejarah) melihat bahwa budaya-budaya simbolis seperti tumpeng dan ketupat, memang warisan dari tradisi agraris di dalam budaya Hindu-Jawa sebagai bentuk manifestasi syukur terhadap Yang Maha Kuasa," jelasnya.
 
Fadly menyimpulkan, Lebaran maupun momen hari raya keagamaan di Indonesia juga berperan penting dalam menjaga pusaka kuliner warisan masa lalu. "Momen ini yang bisa membuat kuliner masa lalu bisa tetap bertahan dan disukai masyarakat kita," tuturnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan