Aneka kue kolonial tersebut tetap eksis menjadi kudapan khas hari raya hingga saat ini berkat resep yang diwariskan turun temurun. Fadly menuturkan, makanan sangat identik dalam perayaan hari raya keagamaan. Pada zaman dahulu, sajian makanan pada hari raya keagamaan bersifat sakral.
"Baik Islam, Hindu, dan agama lokal memiliki tradisi yang menempatkan makana sebagai suatu makna simbolis dan sakral," ujarnya.
Mengapa sakral? sebab makanan yang disajikan merupakan representasi simbolis dari kondisi geografis masa lalu. Saat itu, masyarakat Nusantara dikenal sebagai masyarakat agraris, sehingga makanan yang dibuat pun diambil dari bahan pangan yang ada.
Ia mencontohkan, tradisi ketupat pada hari raya Lebaran banyak dipengaruhi oleh kebudayaan agraris Nusantara. Tradisi ini mengadopsi tradisi masyarakat Hindu-Bali. Ketupat dibuat dari beras dan janur kelapa, dua bahan makanan yang identik dengan sumber pangan di Nusantara sata itu.
Baca: 2022, Startup Digital Bakal Jadi Mata Kuliah Wajib
Selain itu, tradisi sajian makanan di hari raya atau momen akbar lainnya merupakan satu bentuk pengejawantahan terhadap rasa syukur masyarakat atas karunia dari Yang Maha Kuasa. Hal ini diperkuat dengan analisis yang sudah dilakukan para ahli sejarah sejak masa kolonial.
"Mereka (ahli sejarah) melihat bahwa budaya-budaya simbolis seperti tumpeng dan ketupat, memang warisan dari tradisi agraris di dalam budaya Hindu-Jawa sebagai bentuk manifestasi syukur terhadap Yang Maha Kuasa," jelasnya.
Fadly menyimpulkan, Lebaran maupun momen hari raya keagamaan di Indonesia juga berperan penting dalam menjaga pusaka kuliner warisan masa lalu. "Momen ini yang bisa membuat kuliner masa lalu bisa tetap bertahan dan disukai masyarakat kita," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News