"Saya akan menunjukkan spektrum plagiarisme dengan level paling baru, yakni spektrum plagiarisme 2.0. Kalau yang lama atau 1.0 ada 10 spektrum, sekarang ada 12," kata Indra dalam Webinar Plagiarism dan Wajah Masa Depan Dunia Akademik Fakultas Hukum Universitas Mataram, Selasa, 27 April 2021.
Pertama, kata Indra, adalah kolusi siswa. Model ini dilakukan dengan cara kerja sama antara pelajar dalam mengerjakan tugas individu. Kedua, plagiarisme kata demi kata. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menyalin dan menempel konten tanpa menyebutkan sumbernya secara memadai.
"Plagiarisme diri sendiri. Menggunakan hasil karya diri sendiri yang telah dipublikasi atau dikirimkan tanpa menyebutkan sumbernya secara memadai," lanjut dia.
Baca: Peran Guru dan Dosen Sangat Strategis Cegah Plagiarisme
Keempat, plagiarisme mosaik. Kegiatan ini mencampurkan beberapa frase dan teks dari sumber yang berbeda menjadi satu karya. Plagiarisme mosaik juga dapat dikatakan sebagai kegiatan menyunting kalimat tanpa menyertakan tanda apakah itu kutipan atau tak menyebutkan sumber secara memadai.
Kelima, modifikasi teks berbasis perangkat lunak. Model plagiasi ini mengambil konten yang ditulis orang lain dan mengoperasikannya menggunakan perangkat lunak seperti text spinner dan mesin penerjemah agar terhindar dari deteksi plagiarisme.
Keenam, menggunakan jasa joki. Melibatkan pihak ketiga untuk menyelesikan tugas dan mengakuinya sebagai hasil karya sendiri.
"Selanjutnya ada bentuk plagiarisme tidak disengaja. Ini bisa terjadi karena lupa mensitasi atau mengutip sumber atau melakukan parafrase secara tidak sengaja," terangnya.
Kedelapan, plagiarisme parafrase atau melakukan parafrase suatu sumber gagasan tanpa menyebutkan sumbernya secara memadai. Sembilan, plagiarisme kode komputer atau menyalin, mengadaptasi kode sumber tanpa izin dan pengakuan terhadap pembuat kode yang sesungguhnya.
Baca: Studi: Tindakan Plagiat Sudah Masif Dilakukan Sejak SD
Sepuluh, plagiarisme berbasis sumber. Dalam arti, penulis memberikan informasi sumber yang tidak akurat dan tidak lengkap sehingga sumber tersebut tidak dapat ditemukan.
Sebelas, modifikasi teks manual. Pelaku plagiat model ini melakukan manipulasi teks dengan tujuan untuk mengelabui perangkat lunak pendeteksi plagiarisme.
"Terakhir, plagiarisme data. Melakukan fabrikasi data atau menampilkan hasil karya orang lain secara tidak benar, sehingga dapat membahayakan reputasi dari peneliti, institusi ataupun penerbit," tutur dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News