SE itu menuai polemik, bahkan mendapatkan kritik dari berbagai pakar. Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid, menilai larangan bagi pelajar mengikuti demonstrasi adalah bentuk pembungkaman ekspresi. Padahal, kebebasan berekspresi sudah diberikan melalui amanat undang-undang.
"Tidak ada alasan yang kuat sebenarnya melakukan pembatasan ini," kata Usman dalam Seminar Kebudayaan dengan Tema Indonesia Rumah Kita Bersama di SMA Kolese Gonzaga, Jakarta Selatan, Senin, 15 September 2025.
Ia berpendapat suara perubahan dan pergerakan harus dibangun dan dibentuk ketika usia pelajar. Usman menilik sejumlah tokoh bangsa yang memiliki aspek historis politik sejak usia muda.
"Syahrir, Tan Malaka itu melakukan pergerakan sejak masih muda. Bahkan Bung Karno (Presiden RI Pertama Soekarno) dari umur belasan dan membangun Partai Nasional Indonesia (PNI) pada usia 19 tahun," tutur dia.
Baca juga: Begini Cara Siswa Menyampaikan Aspirasi Selain Demo, Mendikdasmen: Belajar di Sekolah |
Kepala Sekolah SMA Kolese Gonzaga, Eduard Calistus, menyebut pihaknya memberikan kebebasan kepada para siswa dalam pandangan politik dan kebangsaan. Pelajar harus memiliki sikap tegas dan kritis terhadap dinamika yang ada.
"Karena mereka yang akan menjadi pemimpin bangsa ini di masa depan, jadi sekarang harusnya memang pelajar itu tegas dan kritis," ujar Eduard.
Sementara itu, aktivis kemanusiaan sekaligus Putri Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gusdur), Inayah Wahid, mendorong generasi muda memilki keberanian. Termasuk, kemampuan mengatasi konfilik horisontal dari lingkup yang paling dekat.
Inayah memberikan contoh mengenai setiap orang memiliki hak atas identitas. Identitas bangsa Indonesia dibangun dari identitas pelajarnya yang bisa mengedepankan persatuan.
"Makanya saya sangat senang jika pelajar lebih berani bicara untuk keadilan, agar Indonesia menjadi rumah bagi semua rakyatnya," tutur Inayah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News