“Bagaimana mungkin umat yang menisbahkan diri dengan nama Muhammad justru diposisikan seakan-akan tidak memuliakan Nabi Muhammad SAW?” ujar Ajengan dikutip dari laman muhammadiyah.or.id, Selasa, 17 September 2025.
Ia menjelaskan ada perbedaan ekspresi dalam berselawat di antara warga Muhammadiyah di berbagai daerah. Misalnya, di Jawa Barat, penyebutan nama Nabi Muhammad SAW sering kali diikuti dengan selawat lirih.
Sementara itu, di Yogyakarta dan Jawa Tengah, kebiasaan tersebut dilakukan dengan lantang dan serempak. “Perbedaan ekspresi itu bukan berarti warga Muhammadiyah tidak berselawat. Karena jelas, perintah berselawat ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadis,” tegas dia.
Ajengan mengutip Surat al-Aḥzāb ayat 56: “Inna Allāha wa-malāʾikatahu yuṣallūna ʿala al-nabī, yā ayyuhā alladzīna āmanū ṣallū ʿalaihi wa-sallimū taslīmā.”
Ayat ini menunjukkan perintah langsung dari Allah agar umat Islam berselawat kepada Nabi.
“Dalam kaidah uṣūl fiqh, pada dasarnya setiap kata kerja perintah dalam Al-Qur’an menunjukkan kewajiban. Maka berselawat adalah bagian dari ajaran Islam yang pasti diamalkan warga Muhammadiyah,” papar dia.
Ajengan juga menyinggung makna selawat menurut para ulama. Selawat Allah kepada Nabi berarti penganugerahan rahmat dan pujian, sedangkan selawat malaikat bermakna doa dan permohonan ampun bagi Nabi. Selawat umat Nabi adalah bentuk doa dan salam penghormatan.
Baca juga: Bolehkah Salat di Atas Kendaraan? Ini Jawabannya |
“Itulah yang kita lakukan setiap kali menyebut nama Nabi, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan sehari-hari,” jelas dia.
Ajengan turut menanggapi keinginan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta ‘Aisyiyah untuk mengembangkan tradisi selawat dalam bentuk syair dan lagu. Upaya itu penting agar selawat lebih masif di kalangan warga Muhammadiyah.
"Saya sempat terharu melihat ibu-ibu ‘Aisyiyah membawakan syair selawat. Itu membuktikan bahwa tradisi ini bukan sesuatu yang asing bagi Muhammadiyah, hanya perlu lebih dibiasakan,” kata dia.
Dia juga menyinggung pandangan Muhammadiyah terkait peringatan Maulid Nabi. Ia menegaskan perbedaan di Muhammadiyah terletak pada aspek kultural dan struktural.
Pada level struktural, Muhammadiyah tidak menempatkan Maulid sebagai ritual wajib, tetapi pada ranah kultural, warga Muhammadiyah tetap dapat mengekspresikan kecintaan kepada Nabi melalui berbagai bentuk penghormatan.
Ajengan mencontohkan perbedaan pandangan di kalangan ulama soal bacaan selawat dalam salat. Hadis riwayat Bukhārī menyebutkan doa sederhana: “Allāhumma ṣalli ʿalā Muḥammad wa-ʿalā āli Muḥammad.”
Namun, sebagian ulama menambahkan kata sayyidinā di luar salat sebagai bentuk penghormatan. “Perbedaan ini bagian dari ijtihad dalam memahami naṣṣ. Teksnya sama, tetapi tafsir dan praktiknya bisa berbeda,” jelas dia.
Ajengan mengajak warga Muhammadiyah tidak terjebak dalam stigma. Melainkan, terus memaksimalkan tradisi berselawat.
“Yang terpenting, Rasulullah SAW dimuliakan, muruahnya ditinggikan dan umatnya terus meneladani ajarannya,” kata Ajengan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id