Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Kisah Anak Tukang Jahit Raih Gelar Doktor dan Berkarier di Prancis

Antara • 31 Oktober 2021 17:21

Setelah menyelesaikan program PhD pada 2011, Siska kemudian diangkat menjadi asisten dosen di laboratorium Université Montpellier II.  Kemudian pada tahun 2014-2015, menjadi asisten dosen Ingénierie des Matériaux Polymères à l’INSA de Lyon, yang merupakan pusat polimer nomor satu di Prancis.
 
Setelah di de Lyon, Siska kemudian bekerja di Research And Innovation Engineer dari Maret 2015- Juli 2018.  Sejak Oktober 2018 sampai saat ini, Siska bekerja di EDF dan ditempatkan sebagai spesialis polimer di Edvance yang merupakan anak perusahaan EDF.
 
Kini, Siska tinggal Kota Versailles, dekat Paris, Prancis, dan telah menikah dengan ahli IT di perusahaan Saint Gobain untuk Aerospace yang juga seorang muallaf berkebanggsaan Prancis bernama Jerome pada Desember 2009 di kampung halamannya Nagari Guguk, Kabupaten Solok.

Dari pernikahannya, Siska dan Jerome dikaruniai dua orang anak, masing-masing bernama Sileana Nilam (9 tahun), dan Emili Intan (2,5 tahun). Meski sudah belasan tahun di Prancis, Siska hingga kini masih tetap berstatus sebagai warga Negara Indonesia (WNI).
 
“Sampai sekarang ini saya masih megang paspor hijau. Meski lama di Prancis dan anak saya juga sudah sekolah di Prancis, sampai sekarang tidak terpikir untuk menjadi warga negara Prancis, karena kalau menjadi warga negara Prancis, status sebagai WNI akan hilang," katanya.
 
Ia juga punya kartu residence Prancis yang masa berlakunya 10 tahun.
 
Sebelumnya Siska pernah mendapatkan tawaran menjadi dosen, yaitu dari Universitas Bina Nusantara (Binus) dan UGM.  "Di Binus, tawaran tersebut langsung datang dari rektor, sedangkan di UGM tawaran itu dari pembibing saya waktu kuliah di Yogyakarta. Namun karena saya punya penyakit autoimun sejak 2006, maka tawaran itu saya tolak,” katanya.
 
Selain autoimun, sebut Siska, matanya juga sudah rabun. Bahkan kalau pulang kampung, dia pun kadang dibilang sombong, padahal dirinya tidak bisa melihat orang dengan jelas, kecuali jarak dekat, misalnya sekitar 10-15 meter.
 
"Kalau lebih dari itu, agak samar pandangan saya. Biaya pengobatan di Indonesia juga mahal. Sedangkan di Prancis, biaya medis ditanggung pemerintah," kata dia.
 
Sementara untuk kerja di Prancis tidak menjadi masalah karena toleransinya tinggi, karena yang mereka inginkan itu hanya hasil.  "Itu sebabnya kenapa sampai sekarang ini saya memilih untuk menetap di Prancis ini, meskipun awalnya saya tidak ada niat sedikitpun untuk menetap di Prancis. Namun begitu, saya rutin pulang kampung sekali setahun, kecuali sejak pandemi covid-19 ini,” ujarnya.
 
Ia berpesan kepada anak-anak muda di Sumatera Barat dan para penerima beasiswa dari PT Semen Padang khususnya, bahwa kesuksesan yang diraih saat ini, tidak terlepas dukungan banyak pihak dan doa dari orang tua.  “Teruslah rajin, giat belajar dan kejar cita-cita . Jangan pernah menyerah dan tidak usah dihiraukan apapun ocehan dan celaan orang lain, karena sesungguhnya saingan terberat adalah diri sendiri," katanya.
 
Sementara ayah Siska, Yulizar mengaku bersyukur dan bangga atas kesuksesan anak sulungnya itu.  Ia dan istrinya sempat melarang Siska untuk melanjutkan kuliah ke Prancis, karena penghasilan Siska saat bekerja di perusahaan Amerika setelah lulus dari UGM sangat besar, yakni sekitar 1.000 Dolar Amerika Serikat .
 
Di tambah lagi Siska yang saat itu masih berstatus lajang, tentunya sebagai orang tua Yulizar dan istrinya khawatir membiarkan anaknya seorang diri terpisah jauh di negeri orang.  “Karena Siska tetap gigih pada pendiriannya, saya dan mamanya merestui keingingan Siska untuk kuliah di Prancis,” katanya.
 
 
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan