Anak-anak membaca di Taman Daun Lembata. DOK IG Taman Daun Lembata
Anak-anak membaca di Taman Daun Lembata. DOK IG Taman Daun Lembata

Gemohing ala John Batafor, Wujudkan Pendidikan Gratis Bagi Anak di Lembata

Renatha Swasty • 17 Agustus 2022 10:07
Jakarta: Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia. Kalimat Presiden ke-1 RI Soekarno yang kerap didengungkan pada Hari Kemerdekaan RI itu tak luntur oleh zaman.
 
Apalagi, saat ini tumpuan Indonesia ada pada pemuda. Indonesia bakal mencapai bonus demografi pada 2045 dan anak-anak muda mesti disiapkan sejak dini.
 
Salah satu jalan menyiapkan anak muda ialah lewat pendidikan. Hal ini pula yang sudah ada di kepala John SJ Batafor.

John melanjutkan Taman Daun Lembata yang didirikan kakak sepupunya, Goris Ubas Batafor, pada 1987 untuk memberikan pendidikan gratis pada anak-anak di Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
 
Taman Daun Lembata bermula dari kumpulan anak-anak yang dibawa ibu mereka saat pemberdayaan tenun. Selama menunggu ibu mereka menenun, ketimbang merecoki, Goris mengajak anak-anak belajar membaca.
 
<i>Gemohing</i> ala John Batafor, Wujudkan Pendidikan Gratis Bagi Anak di Lembata
Pengelola Taman Daun Lembata John SJ Batafor. DOK pribadi
 
Goris yang beberapa kali keliling kota di Indonesia membawa pulang oleh-oleh buku ke Lembata. Buku-buku itulah yang menjadi teman anak-anak.
 
"Dari situ mulai bergerak ke pendidikan. Cuma kakak enggak tahu kenapa, enggak terlalu fokus, (akhirnya) saya ambil alih," cerita John kepada Medcom.id, Senin, 15 Agustus 2022.
 
John memulai perjalanan memberikan pendidikan pada anak-anak di Lembata pada 2009. Dia memutuskan pulang ke Lembata dan memberikan pendidikan pada anak-anak karena tak ingin ada di 'tanah' orang.
 
John yang cuma punya ijazah SMA dan malas membaca tak ingin anak-anak di kampung halamannya bernasib sama sepertinya. Awalnya, John menyasar desa-desa tertinggal di Lembata.
 
Namun, kini Taman Daun tersebar di seluruh desa di Lembata. Saat ini, ada 15 cabang Rumah Gemohing atau biasa disebut kelas belajar. Gemohing sendiri bermakna gotong royong. Di masyarakat NTT sendiri, gemohing diartikan sebagai aktivitas bersama sekumpulan orang untuk menjalankan satu kegiatan di dalam kampung. 
 

John juga tergerak memberikan pendidikan lantaran tak mau pemuda di tempat dia lahir, baik perempuan maupun laki-laki hanya kumpul meminum tuak atau gosip ketika besar. Dia juga tak ingin anak-anak menghabiskan hari hanya dengan main handphone.
 
"Dari kecil mereka sudah merekam, enggak ada yang kerja. Duduk gosip ngerumpi. Laki-laki duduk minum tuak, ibu-ibu gosip. Nanti besar begini. Jadi, saya curi perhatian mereka supaya belajar di sini, pulang dari Taman Daun Lembata sore, malam cape tidur," tutur pria berusia 35 tahun itu.
 
John paham betul untuk membangun negara menjadi besar, anak-anak mesti mulai membangun desa mereka. Apalagi, masih banyak wilayah tertinggal di Lembata yang membutuhkan perubahan.
 
John dibantu guru dan relawan mengajar anak-anak yang berjumlah hampir 200 orang di pusat Taman Daun Lembata yang terletak di Lewoleba, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata. Sementara itu, jumlahnya mencapai ribuan anak di 15 cabang Taman Daun Lembata.
 
Anak-anak mendapat pembelajaran setiap Senin-Jumat sepulang sekolah selama 1,5-2 jam, terkadang pelajaran tambahan pada Sabtu.
 
<i>Gemohing</i> ala John Batafor, Wujudkan Pendidikan Gratis Bagi Anak di Lembata
Relawan WNA mengajar di Taman Daun Lembata. IG Taman Daun Lembata
 
Mereka tak cuma diajari orang lokal tapi juga relawan warga negara asing (WNA). Lewat WNA, anak-anak diajarkan bahasa Inggris juga saling bertukar budaya.
 
Berbeda dari sekolah formal, anak-anak sengaja didekatkan dengan alam di Taman Daun Lembata. "Di sini tidak ada dinding, kalau hujan atap ada, tapi tidak ada dinding," kata John sambil tertawa.
 
Pelajaran untuk anak-anak berorientasi pada alam, seni, dan budaya. Selain belajar baca dan tulis, anak-anak mendapatkan pelajaran sesuai potensi yang ada di sekitar mereka.
 
Desa di sekitar pesisir misalnya, anak-anak bakal banyak mendapat pelajaran soal cara menjaga laut. John menyebut melalui Taman Daun Lembata, dia mendorong anak-anak mengenali lingkungannya. Serta menganalisa potensi yang dimiliki desa mereka.
 
Hal ini lantaran John pernah berkunjung ke salah satu desa yang merupakan penghasil biji mente. John bercerita biji mente berserakan di mana-mana.
 

Namun, tidak ada yang mengolahnya. Makin ironis lantaran masyarakat desa mengeluh miskin dan hidup susah.
 
Usut punya usut, anak-anak yang pergi meninggalkan desa untuk kuliah tak kembali. Bahkan mereka bertahan di ibu kota padahal belum mendapat pekerjaan.
 
John ingin anak-anak yang belajar di Taman Daun Lembata kelak bisa membagun desa. Apalagi, bila mereka sudah sudah mengenali potensi desanya.
 
"Karena kalau mereka besar, kalau mereka menjadi kepala desa, mereka bisa jadi kepala desa yang mampu biayai desa sendiri, mereka bisa kelola potensi alam yang dimiliki," tutur John.
 
Sejumlah program yang dijalankan Taman Daun Lembata, seperti penanaman terumbu karang, penanaman sayur, mengunjungi komunitas baby turttle, camping, hingga mengunjungi desa wisata.
 
<i>Gemohing</i> ala John Batafor, Wujudkan Pendidikan Gratis Bagi Anak di Lembata
Anak-anak belajar di Taman Daun Lembata. IG Taman Daun Lembata
 
Di basecamp pusat Taman Daun Lembata, John juga menyiapkan tanah kosong untuk anak-anak menanam sayur. Anak-anak diberikan bibit sayur dan mesti menanam hingga panen.
 
Setelah panen, sayur dibawa pulang secukupnya untuk makan bersama keluarga. Sedangkan, sisanya dijual.
 
"Uang jual sayur, 75 persen tabungan 25 persennya untuk beli bibit tanam lagi. Mereka punya tabungan untuk sekolah sehingga tidak membebankan pengeluaran orang tua. Karena biaya terbesar itu jenjang  universitas," ucap John.
 
John mengaku baik orang tua maupun anak-anak senang dengan keberadaan Taman Daun Lembata. Sebab, anak-anak mendapat banyak pengetahuan di luar sekolah formal.
 
Taman Daun Lembata juga menyediakan perpustakaan dan museum mini yang memibikin anak-anak makin betah.
 

Namun, John juga pernah ditolak. Anak-anak yang tinggal di pesisir malas diajak bersekolah.
 
Mereka merasa bisa hidup tanpa sekolah. Apalagi, jualan ikan membuat mereka bisa mendapat uang.
 
"Anak nelayan banyak putus sekolah kenapa? Karena prinsipnya buat apa sekolah ujung-ujungnya cari uang. Laut bisa menghidupi mereka. Makanya saya bilang ke mereka, tujuan pendidikan bukan perbanyak isi dompet saja, tapi mempertebal isi kepala, memperbanyak isi kepala," kata John.
 
Dia mendekati anak-anak itu dengan memperlihatkan kondisi terumbu karang di sekitar desa mereka. John menjelaskan pada mereka fakta terumbu karang rusak dan bisa membuat pasokan ikan berkurang.
 
"Jadi, tujuan memperbanyak isi kepala supaya paham, terumbu karang naik cuma 1 cm per tahun. Kalau kalian rusakin hari ini, baru bisa tumbuh lima tahun lagi. Jadi, kita ajarkan enggak boleh tombak ikan," tutur John.
 
<i>Gemohing</i> ala John Batafor, Wujudkan Pendidikan Gratis Bagi Anak di Lembata
Relawan mengajar anak-anak. DOK IG Taman Daun Lembata
 
Taman Daun Lembata terbuka untuk siapa pun, baik anak-anak orang kaya maupun miskin. John tidak akan memungut biaya sepeser pun.
 
Perjalanan John membentuk anak-anak berkontribusi bukan hanya untuk desa tetapi negara masih jauh. Namun, dia senang Taman Daun Lembata membuat potensi anak-anak keluar.
 
Anak-anak yang belajar di Taman Daun Lembata juga berprestasi di sekolah formal. Mereka kerap mengikuti lomba dan tampil di sekolah.
 
"Anak-anak Lembata ini pintar cuma bagaimana kita dorong mereka," tutur John.
 
Taman Daun Lembata juga membuat pemuda usia kerja di Lembata tergerak mengajar adik-adik mereka. John mengaku sempat kesulitan membayar gaji guru sebesar Rp500 ribu per bulan.
 

Hal itu membuat Rumah Gemohing di tujuh desa mesti ditutup bersamaan. Dia juga mesti membayar gaji tak penuh ke sejumlah guru lantaran kurang biaya.
 
Namun, dia senang guru-guru yang merupakan orang lokal itu bersedia dibayar kurang dan tetap mengajar anak-anak.
 
John masih punya banyak mimpi ke depan. Dia ingin Taman Daun Lembata hadir di Flores, seperti yang terdekat Lembata, Adonara dan Alor. John juga masih punya cita-cita besar yang terus dia perjuangkan.
 
Dia ingin membangun sekolah alam formal untuk SD-SMA. Keinginan itu lantaran ibunya sangat ingin John lulus kuliah dan memakai toga. Namun, dua kali mencoba dia gagal dan memutuskan berhenti.
 
"Jadi, saya mau ajakin mama lihat sekolah itu, inilah toga sesungguhnya," tutur John.
 
Baca juga: Kisah Indra Gunawan, Eks-TKI Ini Sukses Ciptakan Metode Pembelajaran Inovatif untuk Siswa

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan