Muhammad Zulfikar Rakhmat. Foto: Dok. Pribadi
Muhammad Zulfikar Rakhmat. Foto: Dok. Pribadi

Kisah Disabilitas Peraih S3 di Inggris

Jalan Gelap Disabilitas, Nyalakan Terang di Manchester

Ilham Pratama Putra • 17 Agustus 2021 09:09

 
Angin segar itu hanya berhembus sesaat. Selang berapa tahun di SMP, alat tulis harus ia genggam kembali. Penyebabnya Ujian Nasional (UN).
 
Lembar Jawaban Komputer (LJK) menjadi monster terakhirnya di sekolah menengah itu. Terbayang olehnya, betapa sulitnya membuat lingkaran sempurna menandai jawaban yang dia pilih.

"Melingkari LJK saya enggak bisa. Dan sekolah harus lobby ke Kemendikbud di Jakarta. Untung di-approval saya didampingi untuk mengisi jawaban. Jadi, kalau teman saya takut bisa kerjain apa enggak, saya takutnya double. enggak cuma ngerjainnya, tapi apakah saya dapat bantuan atau tidak nantinya. Tapi alhamdulillah itu bisa," ungkap penggemar aktor film action Denzel Washington itu.
 
Jeri dan perih akhirnya terhenti seiring Fikar mengetuk ruang kelas barunya di SMA. Dia meninggalkan gelapnya masa SD dan SMP itu tanpa sisa. Dia pergi sejauh 7.337 kilometer dari Semarang. Fikar melanjutkan masa sekolahnya di Qatar, Uni Emirat Arab.
 
Di Qatar, kata dia, teman sekolahnya lebih ramah dan mengerti jika Fikar berbeda. Lingkungan yang jauh lebih sehat itu membuat Fikar mampu berprestasi di sekolah tersebut. Kecintaan pada pendidikan mulai tumbuh di negera yang masuk dalam jajaran negeri terdamai di dunia itu.
 
"Saya pindah ke Qatar karena ikut orang tua mendapat pekerjaan di sana. Saya menemukan lingkungan baru, teman-teman yang suportif, akhirnya saya jatuh cinta dengan sekolah, dan nilai saya itu meningkat drastis," ujar kelahiran Pati, Jawa Tengah itu.
 
Fikar terus mencetak nilai terbaik, hingga mendapatkan beasiswa dari pemerintah setempat. Beasiswa itu terus berlanjut ketika dia masuk S1 di Qatar. Tak main-main Fikar lulus lebih cepat dari masa studi yang seharusnya. S1 dilalapnya hanya dalam waktu tiga tahun dengan Indeks Prestasi Komulatif 3,93 skala 4,0.
 
Atas prestasinya itu, diapun melanjutkan S2 dan S3 di Manchester University, Inggris. Di Inggris, bayang-bayang perundungan ternyata muncul kembali meski tak sesering yang dia alami ketika dulu di Indonesia. Namun sepertinya saat itu, dia telah kebal dari luka masa kecilnya saat bersekolah di Indonesia.
 
"Tapi itu tidak masalah, saya tetap semangat dan saya tetap lulus, alhamdulillah saya menyelesaikan S3 doktor saya di usia ke 26, kemudian saya kembali ke Indonesia dan saya menjadi dosen," terangnya.
 
 
Halaman Selanjutnya
Memang sejak S1 dia telah…
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan