Enam tahun di sekolah dasar, merupakan jalan terjal demi membangun pondasi diri sebagai pelajar. Fikar kembali menghadapi pensilnya. Berdamai dengan tangannya. Tak jarang dia meminta tambahan waktu ketika bertatapan dengan lembar tugas maupun lembar ujian.
"Jadi ya memang mau tidak mau akhirnya harus menulis. Saya bisa, meskipun tidak bagus dan membutuhkan waktu lama. Karena itu ya kalau ujian harus dikasih waktu tambahan dan semacamnya," jelas Fikar.
Tertatih di ruang kelas. Fikar juga dihantam walau baru keluar satu langkah dari kelasnya. Dia dijadikan bahan perundungan. Bahkan pada puncaknya, tubuh Fikar adalah landasan kepalan tinju dan hentak kaki para murid di sekolah tersebut.
"Saya mendapatkan
intense bullying yang levelnya tinggi, selain
bully verbal, secara fisik saya ditendang, dikunci di kamar mandi, bahkan di kelas empat SD itu saya pernah kena gegar otak karena didorong, jadi kepala saya bocor waktu itu," bebernya.
Tapi bagi Fikar kecil, hal itu bukanlah yang terperih. "Yang paling pedih adalah ketika orang tak percaya bahwa sebenarnya saya bisa melakukan hal-hal yang orang lain bisa lakukan. Itu biasanya datang dari guru, guru kita sendiri, mereka tidak percaya bahwa saya bisa," sebut Fikar diiringi lenguh panjangnya di ujung telepon.
Lagi-lagi, orang tua Fikar menjadi malaikat pada situasi yang serba tragedi itu. Fikar seolah kebal dengan hal-hal menakutkan itu. Hingga akhirnya mau tidak mau, dia tetap mesti lanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Terus terang, dulu saya tidak begitu menyukai sekolah, karena saya di-
bully. Jadi memang SD dan SMP saya di Indonesia itu biasa-biasa saja, enggak begitu bagus nilainya," tuturnya.
Namun, di SMP Fikar mendapat angin segar. Kendala menggunakan alat tulis bisa terpecahkan sesaat. Dia diizinkan menggunakan laptop di kelas, guna mencatat hal-hal penting yang ia terima di ruang kelas.