Jakarta: Pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraeni menjelaskan para calon independen akan sulit untuk bersaing di Pemilihan Kepala Daerah (
Pilkada) 2024 yang digelar
serentak pada November 2024 mendatang.
Menurut Titi, ada beberapa alasan kenapa para calon independen sulit berkompetisi:
1. Desain Pilkada serentak
Alasan pertama adalah konsep keserentakkan itu membuat tahapan Pilkada 2024 menjadi tidak ideal, khususnya bagi calon independen alias perseorangan.
"Penyelenggara, pemilih, dan peserta tidak akan sepenuhnya siap menyambut tahapan Pilkada 2024, termasuk pula dengan para aktor politik yang berencana maju di pilkada lewat jalur perseorangan," kata Titi mengutip dari Media Indonesia, Selasa, 14 Mei 2024.
2. Persiapan yang mempet
Waktu persiapan yang mepet dan singkat membuat bakal pasangan calon (bapaslon) perseorangan tidak optimal dalam mengumpulkan dukungan pencalonan dari pemilih. Hal tersebut membuat persiapan para kandidat dilakukan serba tergesa-gesa, sehingga sulit untuk dapat optimal.
"Desain pemilu dan pilkada serentak pada tahun yang sama makin membuat hambatan berlipat bagi calon perseorangan sebab harus mengumpulkan dukungan dari pemilih yang belum sepenuhnya siap untuk beralih fokus dari pemilu ke pilkada," terang Titi.
3. Persyaratan yang berat dan rumit
Selain itu, faktor lain yang membuat kandidat perseorangan sulit maju dalam kontestasi pilkada adalah karena syaratnya yang berat serta butuh modal yang terlalu besar.
Contoh konkretnya, sambung Titi, adalah pengumpulan dukungan pemilih lewat foto copy KTP warga sebagai persyaratan yang mesti diserahkan ke KPU. Oleh karena itu, kandidat perseorangan yang tidak ditopang persiapan matang dan dukungan struktural tim pemenangan yang solid bakal kesulitan memenuhi segala macam persyaratan.
4. Kecenderungan Parpol yang tidak menginginkan calon independen
Titi berpendapat, partai politik terkesan sengaja membuat perangkap dengan mempersulit syarat kandidat perseorangan yang dimulai sejak Pilkada 2015. Di sisi lain, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga menerapkan proses verifikasi faktual lewat metode sensus.
"Di mana setiap dukungan akan divalidasi kebenaran dan keabsahannya. Tentu sangat sulit jadinya untuk bisa lolos dari persyaratan dan proses verifikasi seperti itu," pungkas Titi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id((PRI))