Konferensi pers hasil penelitian soal Pilkada 2024. DOK UGM
Konferensi pers hasil penelitian soal Pilkada 2024. DOK UGM

Penelitian UGM: 75% Pemenang Pilkada 2024 Sudah Bisa Diprediksi Sebelum Pemilihan

Renatha Swasty • 08 Maret 2025 14:03
Jakarta: Hasil penelitian Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan pemenang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah bisa diprediksi bahkan sebelum pemilihan berlangsung. Hal itu berdasarkan analisis terhadap peta koalisi pemenang Pilkada pada 545 daerah.
 
Akhmad Fadillah, mahasiswa Fisipol UGM yang melakukan penelitian menyebutkan, hanya 131 dari 545 daerah yang mengalami kontestasi kompetitif pada Pilkada Serentak 2024. “Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa hanya 24,04 persen daerah yang mengalami kontestasi kompetitif, sementara lebih dari 75 persen daerah memiliki pemenang yang sudah dapat diprediksi sejak pra-pemilihan,” ujar Fadil dikutip dari laman ugm.ac.id, Sabtu, 8 Maret 2025.
 
Hasil survei menunjukkan tingkat kompetisi dalam pilkada tidak lagi ideal sebagai wadah untuk bertukar gagasan dan ide. “Dikhawatirkan, justru pemilihan hanya diperlakukan sebagai formalitas dalam distribusi kekuasaan,” ujar dia.

Berdasarkan peta koalisi, pemenang pilkada didominasi oleh kelompok koalisi besar dengan partai mayoritas di dalamnya. Kelompok ini terbentuk di 239 daerah atau 43,85 persen dari total daerah pelaksanaan Pilkada. Selanjutnya, 133 daerah atau 24,40 persen merupakan Surplus Majority Coalition yang secara sederhana memiliki kekuasaan besar dalam legislatif.
 
Sedangkan sisanya adalah Grand Coalition sebanyak 7,34 persen atau 40 daerah yang merupakan koalisi besar partai pemenang. Dominasi koalisi besar ini menciptakan ruang kompetisi yang sempit karena lawan kontestasi terlalu kuat bagi partai ataupun koalisi kecil lainnya.
 
“Tentunya ini sangat mengurangi esensi demokrasi, karena demokrasi yang baik adalah predictable procedures dan unpredictable results. Tapi kita sudah bisa memprediksi pemenang di pra pemilihan,” jelas Fadil.
 
Dia menuturkan fenomena ini disebut sebagai Uncontested Election yakni situasi di mana hanya pemain-pemain besar saja yang mendapat kesempatan pemenangan. Dampaknya, akan terjadi pemusatan kekuasaan pada elite politik tertentu sehingga aspirasi dari perwakilan publik lainnya tidak dapat diakomodasi.
 

Dosen Departemen Politik dan Pemerintah, Alfath Bagus Panuntun, menyebut pelaksanaan pemilu dan pilkada di Indonesia semakin marak dikendalikan oleh faktor pragmatis dibandingkan dengan demokrasi. Salah satunya, mahalnya biaya politik, sehingga tidak semua kalangan memiliki kesempatan yang sama untuk terjun di dalamnya.
 
“Biaya politik semakin mahal dari waktu ke waktu itu merupakan suatu hal yang terprediksi sebenarnya. Orang berkeyakinan untuk memajukan tokoh yang memiliki modal sosial yang besar,” tutur Alfath.
 
Menurutnya, kondisi politik saat ini hanya memungkinkan dua kalangan untuk dapat maju dalam pemilihan, yakni mereka yang memiliki latar belakang keluarga politik dan kalangan pengusaha atau oligarki. Dia menyebut sangat jarang ditemui kandidat pemilihan berasal dari elemen masyarakat murni yang mengikuti proses kaderisasi partai secara bertahap hingga menjadi kandidat.
 
Bahkan, fenomena ini sudah memunculkan situasi baru yang disebut kelelahan berdemokrasi. “Masyarakat sudah distrust, karena mereka merasa tidak akan yang berubah setelah pemilihan. Ini gejala nasional yang terjadi dalam demokrasi kita,” ujar dia.
 
Meski begitu, tetap ada berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk kembali menguatkan demokrasi. Salah satunya dengan mendorong regulasi untuk kompetisi yang lebih sehat.
 
Perlu adanya penguatan regulasi dan eksekusi. Sehingga, aturan yang sudah disusun dengan baik juga harus diiringi dengan implementasi yang sesuai.
 
“Ketika kita menemukan kecurangan dalam pemilihan, prosedur yang harus dilalui sangatlah panjang. Berujung tidak ada konsekuensi yang diproses pada kandidat. Ini juga merupakan tantangan,” ujar perwakilan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Tri Noviana.
 
Menurutnya, penegakkan regulasi tidak terlepas dari keterlibatan seluruh peserta pemilu, baik kandidat, partai, maupun masyarakat. Setiap elemen berperan penting menciptakan kembali pemilihan yang sehat dan kompetitif demi kembalinya demokrasi nasional.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan